A. Pemeliharaan Alquran pada masa Nabi.
Pada masa Rasulullah Saw., upaya pemeliharaan Alquran dilakukan dengan dua cara: Penghafalan dan Penulisan.
1. Penghafalan:
Setiap kali Rasulullah menerima wahyu, beliau sendiri langsung menghafalkannya. Setelah itu beliau juga menyampaikan dan membacakannya kepada para sahabat agar mereka ikut meghafalkannya pula.[i] Upaya Rasulullah untuk menghafalkan ayat-ayat yang turun terlihat sangat antusias; bahkan terkesan sangat tergesa-gesa. Indikasi ini dapat dipahami dari teguran Allah terhadap Nabi Muhammad agar tidak tergesa-gesa dalam menerima bacaan ayat-ayat Alquran. Sebagaimana firman-Nya:
… و لا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه ، و قل رب زدني علمًا
Artinya: Jangan kau tergesa-gesa membaca Alquran sebelum sempurna diwahyukannya kepadamu; dan berdo’alah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan kepadaku” (Q. S. Thaha/20: 114).
Ayat lain yang senada dengan teguran ini ialah firman Allah:
لا تحرك به لسانك لتعجل به . إن علينا جمعه و قرآنه. فإذا قرأناه فاتبع قرآنه. ثم إن علينا بيانه.
Artinya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. Q. S. Al-Qiyamah/75: 16 – 19).
Untuk meningkatkan motivasi dan intensitas penghafalan Alquran di kalangan sahabat, Rasulullah Saw. menganjurkan agar Alquran yang sudah dihafal itu dibaca dalam shalat, sehingga hafalan mereka dapat terpelihara. Selain itu, Rasulullah juga sangat menganjurkan membaca Alquran di luar shalat. Hal ini terlihat dari sabda beliau yang menyatakan bahwa pahala bacaan Alquran dihitung berdasarkan jumlah huruf yang diucapkannya. Bahkan setiap huruf dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَــةٌ، وَ الْحَسَنَـةُ بِعَشْرِ أَمْــثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ آلـــم حَرْفٌ، بَلْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ فَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
Artinya: Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka mendapat pahala satu kebaikan, setiap kebaikan (hasanah) dilipatgandakan menjadi sepuluh. Saya tidak mengatakan lafal alif lām mīm (آلـــم ) itu dihitung satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lām satu huruf, dan mīm satu huruh. (H. R. Al-Turmudzi)
2. Penulisan:
Selain melalui penghafalan, upaya pemeliharaan alquran pada masa ini juga dilakukan dengan cara penulisan. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu beliau membacakannya kepada para sahabat, serta mendiktekannya kepada para juru tulis wahyu ( كُتَّاب اْلوَحْيِ ) untuk menulis dan mencatatkannya. Sehingga dikenallah pada saat itu nama-nama penulis wahyu, antara lain: Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Mu’awiyah, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Arqam bin Ubayy, Hanzhalah bin ar-Rabi’, dan lain-lainnya.[ii]
Para penulis wahyu ini, selain menulis untuk disimpan di rumah Nabi, mereka juga menulis untuk koleksi pribadi yang disimpan di rumah masing-masing. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keterpeliharaan hapalan mereka dari kemungkinan adanya ayat-ayat yang terlupakan.
Kepada para penulis wahyu ini, selain mendiktekannya, Rasulullah juga menunjukkan di mana ayat-ayat yang turun itu harus diletakkan dalam surat-surat Alquran. Sebagaimana Hadits yang dinukilkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah setiap kali turun wahyu beliau memanggil beberapa orang juru tulisnya sambil memberi petunjuk, ضَعْ هَذِهِ الْآيَةَ فِيْ سُوْرَةٍ كَذَا بَعْدَ آيَةٍ كَذَا (Letakkanlah ayat ini disurat tertentu dan sesudah ayat tertentu). Berdasarkan petunjuk inilah, maka penyusunan ayat-ayat Alquran dalam setiap surat menjadi susunan seperti yang terlihat dalam mushaf yang ada sekarang ini.[iii]
Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Arab yang hidup pada masa itu dikenal sebagai masyarakat yang Ummiy (tidak bisa membaca dan menulis), namun tidak berarti semuanya Ummiy. Begitu pula dengan alat-alat tulis yang ada, sungguhpun tidak ada kertas yang dapat dijadikan sarana, namun dengan peralatan seadanya sebagai pengganti kertas, yang berupa tulang-tulang unta, kulit kambing, pelepah kurma, batu, dll. tidak mengurangi antusiasme para sahabat untuk menuliskan Alquran.[iv]
Mengenai keberadaan kertas sebagai bahan tulis-menulis pada waktu itu, sebenarnya Alquran sendiri telah menyebutkannya pada dua tempat di surat al-An’am. Pertama pada ayat 7 disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal), yaitu: قِرْطَاس , yang kedua pada ayat 91 disebutkan dalam bentuk jama’ (plural), yaitu: قَرَاطِيْس . Penyebutan nama media tulis ini dalam Alquran menunjukkan, bahwa kertas sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu itu, namun dalam bentuknya yang masih sangat sederhana dan jumlah masih sangat terbatas.
B. Pemeliharaan Alquran pada masa Khulafaur-Rasyidin
1. Masa Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban gugur sebagai syuhada’. Di antara para syuhada’ tersebut termasuklah para huffazh (penghafal Alquran) yang jumlahnya sekitar 70 orang, bahkan menurut suatu riwayat samapai 500 orang.[v] Peristiwa ini menggugah hati Umar bin al-Khaththab untuk mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran ditulis kembali dan dibukukan dalam satu mushaf. Karena dikhawatirkan Alquran akan hilang dengan hilangnya para huffazh. Melalui dialog dan adu argumentasi, akhirnya usulan Umar ini diterima oleh Abu Bakar.
Selanjutnya, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Alquran dalam satu Mushhaf. Penunjukan ini didasarkan pada kredibilitas Zaid sebagai salah seorang penulis wahyu pada masa Nabi. Lalu Zaid pun bekerje dengan mengumpulkan dan memeriksa ayat-ayat Alquran yang ditulis dihadapan Nabi pada kepingan-kepingan pelepah kurma, batu-batu, dll. yang tersimpan di rumah kediaman Nabi. Sumber lain dalam penulisan ini juga di dapat dari hafalan para sahabat penghafal Alquran.
Usaha kodifikasi ini dilakukan Zaid dengan sangat teliti. Hal ini terlihat ketika Zaid tidak menemukan dua ayat terakhir surat at-Taubah, sementara ayat tersebut ada dalam hafalannya dan hafalan para sahabat yang lain, maka beliau pun terus mencari dan akhirnya menemukan catatan dimaksud pada Abu Khuzaimah al-Anshary. Selain itu, bukti ketelitian ini juga terlihat, bahwa catatan dan tulisan tersebut baru diakui sebagai berasal dari Nabi apabila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Demikianlah Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas kodifikasi ini yang hasilnya Alquran terkumpul dalam satu Mushaf. Selanjutnya, Mushhaf ini disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.[vi]
2. Masa Umar bin al-Khatthab
Setelah wafatnya Abu Bakar, Mushaf Alquran disimpan oleh Umar bin al-Khatthab. Pada masa ini tidak terlihat usaha-usaha yang menonjol berkaitan dengan upaya pemeliharaan Alquran. Kemudian setelah Umar wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Hafshah binti Umar.
3. Masa Usman
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan penyebaran Islam semakin meluas ke berbagai daerah. Begitu pula para sahabat ahli qiraat dan penghafal Alquran, mereka berpencar tempat tinggalnya, sejalan dengan terpencarnya kaum muslimin. Setiap sahabat ahli qiraat mengajarkan qiraat Alquran -- yang qiraatnya, kadangkala berbeda antara sahabat yang satu dengan yang lain -- kepada kaum muslimin di tempat tinggalnya masing-masing. Ubayy bin Ka’ab, umpamanya, mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Syam; Abdullah Ibnu Mas’ud mengajarkan Alquran kepada penduduk Kufah, Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Bashrah, dan demikian seterusnya.
Konsekwensi perbedaan qiraat yang diajarkan oleh masing-masing sahabat tersebut berakibat pada perpecahan di kalangan umat Islam. Indikasi akan terjadinya perpecahan ini tertangkap oleh Hudzaifah bin al-Yaman, ketika ia sedang memimpin penduduk Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Pasukan yang berasal dari Siria ternyata berbeda dalam membaca Alquran dengan pasukan dari Irak. Mereka bertengkar karena masing-masing mempertahankan kebenaran bacaannya. Hal ini mencemaskan Hudzaifah dan mendorongnya untuk melaporkan pertengkaran tersebut kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ia berkata kepada Khalifah, “Ya Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab Allah, sebagaimana yang terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani pada masa lalu”.[vii]
Untuk mengatasi hal tersebut, maka Khalifah Usman membentuk suatu tim yang terdiri dari: (1) Zayd bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubayr, (3) Sa’id bin al-‘Ash, dan (4) Abd. Rachman bin Harits bin Hisyam. Kepada tim ini Khalifah memerintahkan untuk menggandakan (menulis kembali) Mushhaf Alquran yang ditulis pada masa Abu Bakar menjadi beberapa buah mushhaf. Mushaf-mushaf tersebut dikirimkan ke berbagai daerah untuk dijadikan rujukan oleh umat Islam jika terjadi perselisihan dalam qiraat Alquran.[viii] Mengenai banyaknya mushhaf yang dikirim ke berbagai daerah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Abu ‘Amr al-Dani, jumlahnya ada empat: satu disimpan di Madinah, tiga lainnya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus.[ix] Sedangkan menurut Az-Zarqani, mushhaf tersebut ditulis sebanyak enam eksamplar, masing-masing dikirimkan ke Mekkah, Syam, Bashrah, Kufah dan Madinah. Kemudian satu eksamplar lagi disimpan sendiri oleh Khalifah, yang dikenal sebagai Mushhaf al-Imam (Mushhaf Induk).[x]
Sesuai dengan tujuannya – untuk menyatukan rujukan umat Islam dalam membaca Alquran, maka kaedah (pola) penulisan Alquran pada periode ini diatur tersendiri, berbeda dengan kaedah penulisan bahasa Arab yang konvensional. Kaedah penulisan tersebut kemudian dikenal sebagai kaedah Rasam ‘Usmaniy (الرسم العثماني) .
C. Ilmu Rasmil-Quran
Alquran yang dimaksud dalam hal ini adalah Mushaf Alquran, sehingga sebagian ulama ada yang menyebut Rasmil-Quran dengan Rasmil-Mushaf. Bahkan oleh sebagian ulama lainnya sering juga disebut Rasm Usmani, karena yang beredar secara luas saat ini adalah Alquran dengan pola penulisan ini.
Secara bahasa kata Rasm (رسم) berarti bentuk tulisan. Jadi, Rasmul-Qur’an berarti bentuk tulisan Alquran. Dalam sejarahnya, ada dua bentuk tulisan (Rasm) Alquran: Rasm Imla’iy (الرسم الإملائي) dan Rasm Usmaniy (الرسم العثماني). Rasm Imla’iy berarti bentuk tulisan Alquran yang dihasilkan dari dikte (Imla’), yakni bentuk tulisan yang mengikuti kaedah bahasa Arab pada umumnya. Sedangkan Rasm Usmani, maka berarti pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta para sahabat lainnya yang tergabung dalam tim penulisan mushhaf.
Kaedah penulisan Alquran dengan Rasm Utsmani, berbeda dengan Rasm Imla-iy. Sebagaimana disebutkan oleh Az-Zarqani, kaedah Rasm Utsmani yang membedakannya dari Rasam Imla’iy, ada enam macam. Yaitu:
1) Pembuangan Huruf (الحذف),
2) Penambahan Huruf (الزيادة),
3) Penulisan Huruf Hamzah (الهمز),
4) Penggantian Huruf (البدل),
5) Pemisahan dan Penyambungan Kata (الفصل و الوصل), dan
6) Kaedah tentang Satu Bentuk Tulisan yang dapat Dibaca dengan Dua Versi (قاعدة ما فيه قراءتان) .[xi]
D. Penyempurnaan Penulisan Alquran setelah masa Khulafaur-Rasyidin
Sebagaimana diketahui, bahwa bentuk tulisan Alquran dan tulisan-tulisan berbahasa Arab lainnya pada masa awal (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) ditulis tanpa titik dan baris (syakal). Sejalan dengan perkembangan agama Islam, semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam, maka timbul persoalan bagi mereka untuk membaca Alquran yang tanpa titik dan baris itu. Bahkan tidak jarang kesalahan baris (harakat) dalam bacaan Alquran dapat mengakibatkan perubahan makna yang sangat fundamental. Sebagai contoh, suatu ketika Abul-Aswad ad-Du’ali mendengar seorang qari membaca Surat at-Taubah ayat 3, أن الله بريئ من المشركين و رسولُه . Ayat ini seharusnya dibaca dengan tanda dhammah pada huruf lam lafazh رسولُه . Akan tetapi oleh qari’ tersebut dibaca و رسولِه dengan membaca kasrah pada huruf lam. Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan ia berkata: “Maha Tinggi Allah untuk meninggalkan rasul-Nya”. Kemudian Abul Aswad melaporkan hal ini kepada Ziyad bin Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661 - 680 M). Lalu Abul Aswad diminta untuk membubuhkan tanda baca (syakal) guna menghindari kesalahan membaca di kalangan kaum muslimin.
Memenuhi permintaan tersebut Abul Aswad memikirkan dan merumuskan tanda baca berupa : titik satu di atas huruf ( • ) sebagai tanda fathah (bunyi vokal ‘a’); titik satu di bawah huruf ( . ) sebagai tanda kasrah (bunyi vokal ‘i’) dan titik satu di depan huruf ( ·-- ) sebagai tanda dhammah (bunyi vokal ‘u’). Dalam penulisan mushhaf, tanda harakat ini diberi warna berbeda dengan tulisan hurufnya, dan ia tidak dibubuhkan pada setiap huruf melainkan hanya pada huruf terakhir setiap kata sebagai tanda i’rab.[xii]
Setelah pemberian tanda syakal/harakat tersebut selesai, persoalan lain yang muncul dalam pembacaan mushhaf Alquran adalah kesamaan bentuk beberapa huruf yang tidak bisa dibedakan kecuali oleh orang yang sudah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut, atau mereka yang sudah hafal Alquran. Seperti huruf bā’, tā’, tsā’, nūn’, dan yā’ yang dilambangkan dengan bentuk huruf yang sama, tanpa titik ( ٮ ) untuk kelima macam huruf tersebut. Demikian pula huruf jīm, hā dan Khā yang ditulis tanpa titik (ح); huruf dāl dan dzāl ditulis د ; huruf rā dan zāy ditulis ر ; huruf sīn dan syīn ditulis س; dan lain-lainnya. Sehingga tidak bisa dibedakan antara huruf yang satu dengan yang lainnya, kecuali bagi orang yang sudah hafal atau pernah mempelajarinya secara lisan.
Untuk mengatasi kesulitan ini (membedakan huruf-huruf yang berlambang sama), Gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf (w. 714 M.) menugaskan kepada Nashr bin Ashim (w. 708 M) dan Yahya bin Ya’mur (w. 747 M) – keduanya adalah murid Abul Aswad ad-Du’ali – untuk membubuhkan tanda-tanda pembeda antara huruf-huruf yang bersimbol sama. Dalam menjalankan tugasnya, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur membubuhkan titik-titik diakritis untuk membedakan huruf-huruf yang bersimbol sama. Hasil dari karya mereka berdua maka jadilah bentuk abjad huruf Arab seperti yang kita kenal sekarang ini.
Setelah pembedaan huruf-huruf konsonan yang bersimbol sama sudah selesai dilakukan, persoalan lain yang muncul adalah, bagaimana membedakan antara tanda titik yang menunjukkan syakal (yang dibuat oleh Abul Aswad Ad-Du’ali) dengan tanda titik diakritis yang menunjukkan jenis huruf (yang dibuat oleh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur)?
Untuk mengatasi masalah ini, maka Al-Khalil bin Ahmad (718 – 786 M.),[xiii] melakukan penyempurnaan terhadap karya Abul Aswad Ad-Du’ali dengan mengganti tanda titik yang menunjukkan bunyi vokal ‘a’, ‘i’ dan ‘u’, masing-masing diganti dengan huruf-huruf layyin (alif, yā’ dan wāw). Huruf-huruf tersebut ditulis dalam bentuk kecil pada posisi titi-titik tanda vokal yang digantikannya. Sehingga untuk bunyi vokal ‘a’ diberi tanda alif kecil di atas huruf ( -ا- -), untuk bunyi vokal ‘i’ diberi tanda huruf ya’ kecil di bawah huruf ( --ى- ), dan untuk bunyi vokal ‘u’ diberi tanda huruf waw kecil di depan huruf (--و). Dalam perkembangan selanjutnya, tanda vokal dalam bentuk huruf alif, yā’ dan wāw dipandang kurang efisien, maka digantilah huruf-huruf tersebut dengan tanda baris seperti yang kita kenal sekarang ini.[xiv]
[i] Hasanuddin AF, Anatomi Alquran: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Hasil Istinbath Hukum dalam Alquran, Jakarta, Rajawali Press, 1995: hal. 45 – 48.
[ii] Shubhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus), Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. IV, 1993, hal. 78; Dalam kutipannya disebutkan, bahwa Blachere mengumpulkan nama-nama penulis wahyu sebanyak 40 orang.
[iii] Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfn Fi ‘Ulum al-Qur’an, Daar al-Fikr, Beirut, 1988: I, hal. 346 – 347.
[iv] Ibid., hal. 367 – 368.
[v] Ibid., hal. 249
[vi] Shubhi as-Shalih, 1993: 84 - 89; Hasanuddin AF: 50 - 55; Manna’ al-Qaththan, 1992: 191 – 195.
[vii] Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhail al-Qur’an, Bab Jam’ al-Qur’an, dalam Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran, Yogyakarta, Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001, h. 196.
[viii] Ibid. hal. 197
[ix] Abu ‘Amr al-Dani, al-Muqni fi Ma’rifah Marsum Mashahif Ahl al-Amshar, Kairo, Al-Kulliyyat a-Azhariyah, tt. hal. 10.
[x] Az-Zarqani, Op. Cit., hal. 403.
[xi] Ibid., hal. 369. Penjelasan lebih lanjut tentang kaedah Rasam Usmani beserta contoh-contoh penerapannya dapat dibaca pada karya Az-Zarqani, hal 369 – 373.
[xii] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta, 2001, hal. 280 – 281
[xiii] Al-Khalil Bin Ahmad adalah seorang ahli bahasa dari Bashrah pada masa pemerintahan Abbasiyah
[xiv] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar