KULIAH ULUMUL QURAN

Entri yang ada pada blog ini harus dibaca oleh mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ulumul Quran di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selasa, 12 Agustus 2008

Bagian Ketiga: Nuzulul Qur'an

Pembicaraan tentang Nuzulul-Qur’an merupakan persoalan yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Urgensi pembicaraan tentang hal ini menuntut adanya kepastian dan keyakinan, bahwa Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad betul-betul wahyu yang datangnya dari Allah Swt. Karena itu pula masalah ini menjadi salah satu di antara rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap mukmin.

Kepercayaan terhadap Kewahyuan Alquran tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan kemestian adanya komunikasi antara Allah dengan Nabi Muhammad. Bagaimana komunikasi antara Allah sebagai Dzat yang Immateri dengan Nabi Muhammad yang materi bisa terjadi, itulah persoalan dasar yang harus ditemukan jawabannya terlebih dahulu sebelum lebih jauh membahas pengertian Nuzulul-Qur’an.

Persoalan ini sebenarnya masuk dalam wilayah kajian filsafat. Dalam filsafat, Tuhan disebut mind (akal). Atau paling tidak, Tuhan adalah Dzat yang memiliki daya pikir (berakal). Karena Tuhan adalah Akal, maka manusia sebagai makhluk yang juga berakal tidak mustahil dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Lebih-lebih jika diakui bahwa Muhammad adalah manusia pilihan, memiliki daya pikir yang lebih istimewa daripada manusia pada umumnya, maka komunikasi antara Muhammad dengan Tuhan menjadi semakin tidak mustahil. Dengan demikian, kewahyuan Alquran yang diperoleh dari adanya komunikasi antara Allah dengan Nabi Muhammad, adalah tidak mustahil.[1]

A. Pengertian Nuzulul-Quran

Secara bahasa frase Nuzulul-Quran (نزول القرآن) berarti turunnya Alquran. Kata Nuzul (turun) jika dipahami berdasarkan arti hakiki (bukan sebagai kata kiasan) adalah “berpindahnya sesuatu dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah”. Jika pengertian ini dikaitkan dengan turunnya Alquran, maka menjadi tidak mungkin. Karena Alquran yang dimaksud bukanlah Mushaf Alquran yang bersifat materi, melainkan Alquran yang ada pada Dzat Allah, yang bersifat immateri. Dengan demikian, pengertian kata Nuzul harus digunakan dalam arti kiasan (makna majazi). Sedangkan penggunaan kata Nuzul (turun) dalam konteks turunnya Alquran memberikan indikasi makna, bahwa Allah sebagai Dzat yang menurunkan Alquran berada pada posisi yang lebih tinggi dan lebih agung daripada Nabi Muhammad yang menerimanya.

Berkaitan dengan makna majazi kata nuzul, sebagian ulama berpendapat, bahwa makna majazi yang dapat digunakan untuk arti kata nuzul adalah الإظهار sehingga frase نزول القرآن berarti sama dengan إظهار القرآن (menampakkan Alquran, menjadikan Alquran yang immateri dan tidak tertangkap oleh indra manusia menjadi tertangkap). Dalam hal ini nuzulul-Qur’an berarti proses materialisasi Alquran, dari immateri kemudian diucapkan oleh Jibril menjadi susunan kalimat yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran NabiMuhammad Saw.

Sebahagian ulama lainnya juga berpendapat, bahwa makna majazi yang dapat digunakan sebagai arti dari kata nuzul ialah الإعلام به, sehingga frase نزول القرآن berarti sama dengan الإعلام بالقرآن yang berarti pemberitahuan Allah tentang susunan lafal dan makna Alquran kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Dikatakan, bahwa Allah mengajarkan kalam-Nya kepada Jibril di langit, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Muhammad di bumi.[2]

Kedua pengertian ini sama-sama dapat diterima dalam kaitannya dengan pengertian Alquran sebagai Kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Jika kata Nuzul diartikan sama dengan Izhar, ini menunjukkan proses transformasi Wahyu (Alquran) dari Dzat yang Immateri (Allah) kepada Rasul-Nya (Muhammad) yang materi. Demikian pula jika kata Nuzul diartikan sama dengan I’lam, maka Nuzulul-Quran berarti, bahwa Allah memberitahukan ajaran berupa lafal dan makna yang terkandung dalam Alquran kepada Rasul-Nya melalui malaikat Jibril.[3] Walhasil, makna diturunkannya Alquran (Nuzulul-Quran) bukanlah perpindahan Alquran dari suatu tempat yang tinggi ke tempat lain yang lebih rendah, karena hal yang demikian adalah mustahil.

Penggunaan kata Nuzul (turun) dalam konteks penyampaian wahyu Alquran kepada Nabi Muhammad menunjukkan kebesaran dan ketinggian Dzat yang memiliki kalam tersebut (Allah). Sebagaimana pengertian kata nuzul secara harfiah, yaitu perpindahan sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.

Kata Nuzul (نزول) dalam Alquran lebih banyak digunakan dalam bentuk Inzal (أنْزَلَ – يُنْزِلُ - إنْزَال) dan Tanzil (نَزَّلَ – يُنَزِّلُ – تَنْزِيْل) . Seperti pada ayat:

Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan (Q.S. Al-Qadr/97: 1)

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (Q.S. Al-Hijr/15: 9)


B. Fase dan Tahapan Nuzulul-Quran

Fase turunnya Alquran yang dimaksud dalam hal ini adalah proses yang dilalui Alquran sebelum sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Proses ini oleh Az-Zarqani [1988: 43] disebut sebagai Tanazzulat al-Qur’an (تـــــنزلات القرآن) . Menurutnya, Alquran diturunkan melalui tiga fase, yaitu:

1) Lauh Mahfuzh (لوح محفوظ):

Adanya fase ini didasarkan pada firman allah:

Artinya:

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (Q. S. Al-Buruj/85: 21 – 22)

Selain dari ayat di atas, firman Allah yang juga dapat dijadikan dasar adalah:

Artniya: Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang (makhluk) yang disucikan. (Q.S. al-Waqi’ah/56: 77-79)

Eksistensi Lauh Mahfuzh sebagai wadah terdapatnya Alquran pada kali pertama tidak lain adalah ilmu (pengetahuan) Allah itu sendiri.[4] Karena itu, kalau dikatakan dalam Alquran:

Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Q.S. Al-Hadid/57: 22).

Maka yang dimaksud adalah, bahwa segala peristiwa yang terjadi di muka bumi ini sudah diketahui oleh Allah sejak sebelumnya, bahkan sejak zaman azali. Hal ini dapat terjadi, karena Allah memiliki sifat Maha Mengetahui. Pengetahuan-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan tidak pula tergantung pada peristiwa.

2) Bait al-‘Izzah (بيت العــزة) : Dasar pemikiran adanya fase turunnya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah ini adalah bahwa Alquran diturunkan sekaligus pada suatu malam penuh berkah (ليلة مباركــة) yang disebut juga malam al-Qadr (ليلة القدر ). Hal ini sesuai dengan firman Allah:

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam yang penuh berkah. (Q. S. Ad-Dukhan/44: 3)

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam Al-Qadr. (Q. S. Al-Qadr/97: 1)
Artinya:

Bulan Ramadhan yang telah diturunkan Alquran di dalamnya … (Q. S. Al-Baqarah/2: 185)

Berdasarkan ketiga ayat di atas, Alquran diturunkan pada malam yang penuh berkah, malam al-Qadr yang terjadi pada bulan Ramadhan. Menurut Hadits Rasulullah, malam tersebut terjadi pada malam-malam likuran ganjil di bulan Ramadhan. Yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan. Hal ini berarti, bahwa malam Nuzulul Quran adalah malam likuran ganjil di bulan Ramadhan. Akan tetapi dalam kenyataannya umat Islam memperingati Nuzulul Quran setiap tahunnya tidak pada malam likuran ganjil, melainkan pada tanggal 17 Ramadhan. Itulah sebabnya para ulama membedakan antara malam turunnya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah yang terjadi pada malam al-Qadr dengan malam turunnya Alquran dari Bait al-‘Izzah kepada Nabi Muhammad yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan.

Selain dari alasan di atas Az-Zarqani mengemukakan empat buah Hadits yang secara eksplisit menjelaskan, bahwa Alquran diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul-’Izzah, di langit dunia. Salah satu di antara hadits-hadits tersebut dikemukakan oleh Az-Zarqani sebagai berikut:

أَخْرَجَ اْلحَاكِمُ بِسَنَدِهِ عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ أنه قال: فُصِّلَ اْلقُرْآنُ مِنَ الذِّكْرِ فَوُضعَ فِىْ بَيْتِ اْلعِزَّةِ مِنَ السَّمـَـاءِ الدُّنْيَا فَجَعَلَ جِبْرِيْلُ يَنْزِلُ بِهِ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Artinya: Al-Hakim mengeluarkan hadits dengan sanad dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata: Alquran dipisahkan dari adz-Dzikr, lalu diletakkan di Bait al-‘Izzah dari langit dunia, kemudian diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.

Turunnya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah pada malam al-Qadr terjadi sekaligus. Fase ini berbeda dengan fase turun berikutnya yang terjadi secara berangsur-angsur.

3) Nabi Muhammad di dunia (bumi): Pada fase ini, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas, Alquran diturunkan dari Bait al-’Izzah, secara bertahap sedikit demi sedikit, disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Ayat-ayat yang turun pada fase ini kadangkala didahului oleh sesuatu peristiwa (sebab nuzul) dan kadangkala juga tidak.

Adapun tahapan turunnya Alquran yang dimaksud dalam hal ini adalah, bahwa penyampaian Alquran kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril dilakukan dalam rentang waktu yang berjalan selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, mulai tanggal 17 Ramadhan tahun ke 41 dari kelahiran Nabi (610 M.) sampai dengan tanggal 9 Dzul-Hijjah tahun 10 H.[5] Atau kurang lebih 23 tahun.

Pertamakali turunnya ayat-ayat Alquran pada fase ini, yaitu pada tanggal 17 bulan Ramadhan, ditetapkan oleh para ulama sebagai hari turunnya Alquran (nuzulul-Quran) yang diperingati setiap tahunnya hingga sekarang. Penetapan ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Anfal/8: 41,

… Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari al-Furqaan, yaitu hari bertemunya dua pasukan

Pada terjemahan yang digarisbawahi dari ayat diatas, sebagian ahli tafsir berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan hari al-Furqan ialah hari turunnya Alquran. Hari tersebut bersamaan waktunya dengan hari bertemunya dua pasukan (hari peperangan). Karena pada surat al-Baqarah/2: 185 dijelaskan bahwa Alquran diturunkan pada bulan Ramadhan, hari bertemunya dua pasukan dalam hal ini juga yang terjadi pada bulan Ramadhan. Setelah ditelusuri dalam sejarah, ternyata peperangan yang terjadi pada bulan Ramadhan hanyalah perang Badar, yang terjadi pada hari Jum'at tanggal 17 bulan Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Dengan demikian maka ditetapkanlah tanggal tersebut (17 Ramadhan) sebagai tanggal turunnya Alquran yang diperingati oleh umat Islam hingga saat ini. Kesamaan tanggal turunnya Alquran dengan hari terjadinya perang Badar hanyalah pada tanggal dan bulannya saja; sedangkan tahunnya berbeda.

Berdasarkan keterangan yang demikian ini, maka peringatan Nuzulul-Qur’an tidak dilakukan pada malam-malam likuran ganjil di bulan Ramadhan, sebagai malam al-Qadr yang ditunjukkan oleh Surat Al-Qadr/97: 1 dan ad-Dukhan/44: 3.

Turunnya Alquran pada fase ketiga ini terbagi kepada dua tahap. Tahap pertama terjadi ketika Nabi berada di Mekkah atau sebelum hijrah ke Madinah, dan tahap kedua terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat atau surat-surat Alquran yang turun pada tahap pertama (sebelum Nabi hijrah) disebut ayat Makkiyah, sedangkan pada tahap kedua (sesudah Nabi hijrah) disebut ayat Madaniyah.


C. Hikmah Diwahyukannya Alquran Secara Berangsur-angsur

1. Untuk meneguhkan dan menguatkan hati Nabi. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran:

Artinya:

Orang-orang kafir berkata, “Mengapa Alquran tidak diturunkan kepada Muhammad sekaligus saja?” Demikianlah (Alquran diturunkan secara berangsur-angsur) agar Kami dapat memperkuat hatimu dan membacanya secara tartil. (Q. S. Al-Furqan/25: 32)

2. Untuk mendidik dan membimbing umat Islam secara perlahan-lahan dalam menghafalkan, memahami dan melaksanakan kandungan Alquran.

3. Untuk menyesuaikan turunnya ayat dengan pristiwa-pristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang melatar belakangi turunnya (Asbabun-Nuzul) ayat-ayat tertentu.

4. Untuk membuktikan kepada umat manusia, bahwa Alquran betul-betul bersumber dari Allah, bukan karangan Nabi Muhammad sendiri, sebagaimana dituduhkan oleh kalangan Orientalis.[6]




[1] Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. IV, 1983, hal. 21

[2] Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, ‘Isa al-Baby al-Halaby, Kairo, 1972, hal. 229

[3] Dr. Hasanuddin AF. Anatomi Alquran: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Alquran, Rajawali Press, Jakarta, 1995, 28 – 29

[4] Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid VII, hal. 394 – 395, menyebutkan bahwa kata Al-Kitab pada surat Al-An’am/6: 38, kata Ummul-Kitab pada surat Al-Ra’d dan Al-Zukhruf oleh sebagian mufassir diartikan sebagai Lauh Mahfuzh, sedangkan oleh ulama yang lain mengartikannya sebagai العلم الإلـهي المحيط بكل شيء (pengetahuan Tuhan yang meliputi segala sesuatu). Dalam pandangan ini, Malaikat Jibril sebagai perantara dalam proses penyampaian wahyu (Alquran) dapat dipahami sebagai akal kesepuluh dalam teori Emanasi yang dikemukakan oleh Filosof Muslim Al-Farabi (Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, Cet. II, 1986, hal. 12 – 14, 32).

[5] Al-Khudhary, Syeikh Muhammad, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, Darul-Fikr, Beirut, 1981, hal. 8

[6] Az-Zarqani, Op. Cit., jilid I, hal 53 - 60; bandingkan dengan Hasanuddin AF, Op. Cit., hal. 35 – 40

Kelompok II: Al-Quran dan Wahyu

Bagian Kedua

Alquran dan Wahyu

A. Pengertian Alquran.

Secara bahasa, kata Alquran (القرآن) merupakan bentuk mashdar yang berasal dari fi’il madhi قـَرَأَ , seperti halnya kata فُرْقَانُ yang berasal dari fi’il madhi فَرَقَ. Walaupun bentuknya mashdar, kata القرآن mempunyai arti yang sama dengan isim maf’ulnya (اَلْمَقْـرُوْءُ), sebagaimana kata الْكِتَابُ memiliki arti yang sama dengan المكتوب . Dengan demikian, jika kata قَرَأَ berarti membaca, maka القرآن berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama yang diwakili oleh al-Lihyani.[1]
Pendapat kedua yang diwakili antara lain oleh al-Asy’ari mengatakan, bahwa kata القران (dibaca al-Quran, tanpa hamzah) berasal dari kata قرن yang berati menggabungkan, berkumpul, bersama-sama.[2]
Pendapat ketiga, yang diwakili oleh Ibnu Katsir dari madzhab al-Syafi’i, mengatakan bahwa kata القران (ditulis tanpa hamzah) merupakan isim jamid yang dijadikan nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., sebagaimana halnya kitab Taurat, zabur dan Injil.[3]
Menurut istilah, banyak pendapat yang dikemukakan para ulama tentang pengertian Alquran. Dari berbagai pendapat tersebut, suatu pendapat yang dipandang cukup memadai dan karenanya dikutip oleh kebanyak penulis Ulumul Quran yang datang kemudian adalah definisi yang dikemukakan oleh az-Zarqani[4] sebagai berikut:
"بِأَنَّهُ اْلكَـلاَمُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, الْمَكْـتـُوْبُ فِيْ الْمَصَاحِفِ, الْمَنْقُوْلُ بِالتَّـوَاتُرِ, الْمُتَعَبَّــدُ بِتـِـلاَوَتِهِ"
Artinya: Alquran adalah Kalamullah yang berfungsi sebagai mukjizat, diturunkan kepada Nabi Saw., ditulis dalam mushaf-mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan dipandang ibadah dalam membacanya.
Dalam definisi ini yang yang menjadi unsur utama adalah Kalam Allah (firman atau perkataan Allah). Karena banyaknya Kalam Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad, maka karakteristik/ciri khas Alquran yang membedakannya dengan Kalam Allah yang lainnya adalah:
1. Alquran berfungsi sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw. Hal ini berarti bahwa Alquran dengan kemukjizatannya dapat membuktikan kenabian Mauhammad bagi orang yang meragukannya. Berbeda dengan kitab-kitab suci sebelumnya yang hanya berfungsi sebagai pedoman hidup bagi umat pada zamannya.
2. Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini jelas membedakannya dengan kitab-kitab suci yang lain. Seperti kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa A.S.
3. Alquran ditulis ke dalam lembaran-lembaran (mushhaf). Sebagaimana diketahui, bahwa penulisan Alquran kedalam satu mushhaf terjadi pada masa Abu Bakar, segera setelah wafatnya Rasulullah. Hal ini menjamin orisinalitas (keaslian) Alquran yang terus terpelihara sampai saat sekarang.
4. Proses transformasi Alquran, baik dalam bentuk bacaan maupun tulisan, dari suatu generasi ke genarasi berikutnya, sejak dari masa Rasulullah sampai sekarang berlangsung secara mutawatir.[5] Dengan demikian, Alquran yang ada pada generasi sekarang ini tidak berbeda dengan Alquran yang diterima oleh Rasulullah dari Malaikat Jibril.
5. Membaca Alquran bernilai ibadah. Hal ini tidak berarti bahwa membaca buku-buku dan kitab-kitab yang lain tidak ada gunanya dan tidak mendapat pahala. Melainkan aktifitas membaca tersebut tetap mendapat pahala di sisi Allah yang nilainya sesuai dengan substansi bacaan, yaitu memperoleh pengetahuan dari apa yang dibacanya. Sedangkan nilai pahala dalam membaca Alquran, di samping berpahala dari sisi pemahaman maknanya (jika mengerti akan isi yang dibacanya), juga berpahala dari sisi bilangan huruf yang dilafalkannya. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw.:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِـتَابِ اللهِ فَلَـــهُ حَسَنَــةٌ، وَ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ آلــــم حَرْفٌ، بَلْ اَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ حَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Alquran), maka mendapat satu kebajikan (hasanah). Setiap kebajikan dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf” (H. R. Al-Turmudzi).[6]
B. Nama-nama Alquran
Dalam Alquran sendiri banyak disebutkan nama-nama bagi kitab suci ini. hanya saja kadangkala orang tidak membedakan antara “nama” dengan “sifat”. Sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah nama Kitab Suci ini yang disebutkan dalam Alquran. Imam As-Suyuthi, umpamanya, mengutip pendapat Abu al-Ma’ali yang dimuat dalam Kitab Al-Burhan menyebutkan, bahwa Allah menamai Alquran dengan 55 (lima puluh lima) macam nama. Namun jika diamati dengan seksama dari berbagai macam nama tersebut, didapati lima macam kata yang menunjukkan nama bagi Kitab Suci ini. Kelima macam nama tersebut antara lain disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
1. Al-Qur’ān (القـــرآن) seperti dalam ayat :
 إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Artinya: Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar [Q.S. Al-Isra’/17: 9].
Dinamakan Al-Qur’an, karena kitab suci ini merupakan kitab bacaan atau kitab yang paling banyak dibaca oleh umat manusia. Sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam setiap muslim membacanya pada setiap raka’at shalat fardhu.
2. Al-Kitāb(الكتــــاب) seperti pada ayat:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Artinya: Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan lagi padanya. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa [Q.S. Al-Baqarah/2: 2].
Dinamakan Al-Kitab karena ia merupakan sesuatu yang ditulis. Kata Al-Kitab dalam hal ini pengertiannya sama dengan Al-Maktub.
3. Al-Dzikr (الـذكـــر) seperti pada ayat:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Dzikr (Al-Qur’an) dan Kami pulalah yang memeliharanya [Q.S. Al-Hijr/15: 9].
Penamaan al-Dzikr ini berkaitan dengan fungsi Alquran sebagai pemberi peringatan. Atau dapat juga dikatakan demikian, karena kitab ini sangat mudah diingat (dihafalkan).
4. Al-Furqān (الفـــــرقان) seperti terdapat pada ayat:
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR
Artinya: Maha Suci (Allah) yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad) untuk menjadi peringatan bagi seluruh alam [Q.S. Al-Furqan/25:1].
Dinamakan Al-Furqan, karena kitab suci ini berfungsi sebagai pembeda antara yang haq dengan yang bathil.
5. Al-Nūr (النـــور) Penamaan ini tersebut dalam ayat:
(#qãZÏB$t«sù «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur ÍqZ9$#ur üÏ%©!$# $uZø9tRr& 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz.
Artinya: Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada an-Nur (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Menhetahui apa yang kamu kerjakan [Q.S. Al-Taghabun/64: 8].
Dinamakan An-Nur karena kitab ini berfungsi sebagai cahaya, penyuluh bagi umat manusia dalam menjalani kegelapan hidupnya di dunia ini.
C. Garis-garis Besar Kandungan Alquran
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam merumuskan garis-garis besar kandungan Alquran. Perbedaan tersebut sebenarnya disebabkan cara pandang yang berbeda, sesuai dengan kecendrungan dan latar belakang keilmuan yang dimilikinya.
Fazlur Rahman dalam bukunya, Major Themes of The Quran (Tema Pokok Alquran), menyebutkan ada delapan tema, yaitu: (1) Tuhan, (2) Manusia sebagai Individu, (3) Manusia sebagai Anggota Masyarakat, (4) Alam Semesta, (5) Kenabian dan Wahyu, (6) Eskatologi, (7) Setan dan Kejahatan, dan (8) Lahirnya Masyarakat Muslim.
Kedelapan tema tersebut jika disederhanakan lagi bisa dirangkum menjadi enam macam, yaitu:
1. Tuhan,
2. Manusia,
3. Alam,
4. Kenabian,
5. Eskatologi (keakhiratan), dan
6. Setan/Kejahatan.
Berbeda dengan Fazlur Rahman, Harun Nasution dalam bukunya, Akal dan Wahyu dalam Islam, memperkirakan hanya sekitar 500 ayat (8%) dari isi kandungan Alquran yang menyebutkan ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, dan hidup kemasyarakatan. Dari 500 ayat tersebut hanya 228 yang membicarakan tentang hidup kemasayarakatan. Dalam hal ini Harun Nasution ingin menekankan, kurang tepatnya pendapat yang mengatakan, bahwa Alquran mencakup dan menjelaskan segala-galanya, termasuk di dalamnya sistem hidup kemasyarakatan manusia yang komplek seperti sekarang ini.[7]
Dalam beberapa kitab tafsir sering ditemukan pendapat yang mengatakan, bahwa garis besar kandungan Alquran termuat dalam surat Al-Fatihah. Karena itu pula surat Al-Fatihah disebut sebagai Ummul Kitab atau Ummul Qur’an. Jika didasarkan pada pendapat ini, maka timbul perbedaan tentang macam-macam ilmu yang ada dalam surat Al-Fatihah. Syeikh Mushthafa Al-Maraghy, umpamanya, menyebutkan dalam tafsirnya bahwa surat Al-Fatihah mengandung lima macam ajaran pokok, yaitu:[8]
1. Aqidah/Tauhid
2. Janji dan Ancaman (Al-Wa’d wa al-Wa’id)
3. Ibadah
4. Jalan Kebahagiaan
5. Sejarah Umat Masa Lampau
Berbeda dengan Al-Maraghy, Al-Imam Fachruddin Al-Razy mengemukakan bahwa surat Al-Fatihah sebagai representasi Alquran (Ummul Quran) mengandung tiga macam ajaran pokok, yaitu:[9]
1. Aqidah,
2. Ibadah, dan
3. Mu’amalah
Suatu pembagian yang sangat global menyebutkan tiga macam kandungan Alquran yang meliputi masalah-masalah:
1. Teologis: yaitu masalah ketuhanan dan hal-hal yang membutuhkan keimanan dalam penerimaannya. Seperti ajaran yang termuat dalm rukun iman;
2. Kosmologis: yaitu tentang alam semesta beserta isinya dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Baik menyangkut asal usul dan proses kejadian alam, hukum-hukum yang berlaku di dalamnya (sunnatullah) dan lain-lain sebagainya;
3. Antropologis: yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah manusia. Baik menyangkut hakekat manusia, asal usul kejadiannya, wataknya, sejarah kehidupannya dari waktu ke waktu, dll.
D. Pengertian wahyu / الــــوحي :
Secara bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang cepat, surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.[10]
Dalam Alquran, kata wahy (الوحي) , digunakan dalam bentuk الإيحاء dan dipakai dalam berbagai macam pengertian. Di antaranya:
- Ilham Fithriah bagi manusia:
!$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ÐÈ
Artinya: Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya …[Q.S. Al-Qashash/28: 7].
- Instink bagi hewan :
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ
Artinya: Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia [Q.S. Al-Nahl/16: 68].
- Isyarat :
yltsƒmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍköŽs9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia wahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang [Maryam/19: 11].
- Bisikan/rayuan syeithan :
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqムöNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4 öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù ( öNèdöxsù $tBur šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÊËÈ
Artinya: Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan [Q. S. Al-An’am/6: 112]
Demikian arti kata wahyu menurut penggunaannya dalam Alquran. Sedangkan kata wahy menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ialah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.[11] Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat.
Pengertian demikian ini juga digunakan dalam Alquran, antara lain pada ayat :
$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 !$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) zOŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur 4Ó|¤ŠÏãur z>qƒr&ur }§çRqãƒur tbr㍻ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur yŠ¼ãr#yŠ #Yqç/y ÇÊÏÌÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny;, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud [Q. S. Al-Nisa’/4: 163]
Sedangkan proses penyampaiannya yang kadangkala secara langsung dan kadangkala melalui perantara, diungkapkan dalam Alquran surat al-Syura/42: 51 sebagai berikut:
$tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ
Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (secara langsung) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana [Q.S. al-Syura/42: 51]..


E. Macam-macam wahyu
Berkaitan dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala sesuatu yang disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul, adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari keinginan pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari Allah. Seperti dalam firman-Nya:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya: Dan dia (Muhammad) tidak memngucapkan sesuatu yang keluar dari hawa nafsunya, melainkan (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan Tuhan [Al-Najm/53: 3 – 4].
Sungguhpun redaksi ayat ini bersifat umum, mencakup apa saja -- ajaran -- yang disampaikan/diucapkan oleh Muhammad, namun dalam realitasnya harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat ilahiyah, yang menempatkan Muhammad sebagai utusan Allah[12].
Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya dideskripsikan dalam tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi. Perbandingan antara ketiga macam wahyu ini dapat ditabulasikan sebagai berikut:
ALQURAN
HADITS QUDSI
HADITS NABAWI
Redaksi bahasa dan mak-nanya dari Allah
Maknanya dari Allah, redaksi bahasanya disusun sendiri oleh Nabi dengan menis-batkannya kepada Allah.
Maknanya dari Allah, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh Nabi tanpa menisbatkan-nya kepada Allah
Keabsahan-nya sebagai
wahyu Allah bersifat mutlaq (قطعيّ الورود)
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang
bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang relatif (ظنيّ الورود)
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang tidak mutlaq (ظنيّ الورود)
F. Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”.[13] Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.[14]
Ilham dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.[15]
Dua macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams/91: 8,
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya (Q. S. al-Syams/91: 8).
Dua macam instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur) dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua macam instink ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan Allah.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.





[1] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, مناهل العرفان في علوم القرآن , Daar al-Fikr, Beirut, 1988, Juz I, hal. 14; Bandingkan dengan Rosihon Anwar, hal. 29; Masjfuk Zuhdi, hal. 2.
[2] Badruddin Muhammad Bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Baby al-Halaby, Kaero, 1957, Juz I, hal. 278
[3] Dr. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, دراسات في علوم القرآن (ULUMUL-QUR’AN: Studi Kompleksitas Alquran), Alih Bahasa Amirul Hasan & Muhammad Halabi, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, Cet. I, 1997, hal. 38
[4] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, op. cit, Juz I, hal. 19
[5] Mutawatir adalah proses penyampaian informasi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta atau melakukan manipulasi.
[6] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Riyadhush-Shalihin, Alih Bahasa Salim Bahreisy, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. V, 1979, hal. 126
[7]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986: 27 – 34
[8] Muhammad Mushthafa Al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Daar al-Fikr, Beirut, 2001, Juz I, hal. 17
[9] Fachruddin Ar-Razy, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Daar al-Fikr, Beirut, 1425H, Juz I., hal. 123
[10]Prof. Dr. M. Qureish Shihab, et.al. SEJARAH & ULUM AL-QURAN, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. II, 2000, hal. 48
[11] Ibid. Dikutip dari Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, Daar al-Syuruq, Beirut, 1994, hal. 101
[12] Salah satu contoh ucapan Muhammad yang disampaikan dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah, adalah ketika akan terjadi perang Khandaq. Muhammad menginstruksikan kepada prajuritnya untuk membuat pertahanan di dalam kota. Namun instruksi ini dipertanyakan oleh salah seorang tentaranya, dengan berkata: “Ya Rasulallah, apakah instruksi ini merupakan wahyu dari Allah?” Muhammad menjawab, “Bukan”. Lalu tentara tadi mengusulkan agar pertahanan dilakukan di luar kota, karena kalau bertahan di dalam kota, walaupun menang dalam peperangan tetapi akan menyebabkan hancurnya kota. Karena itu dibuatlah parit (Khandaq) sebagai benteng pertahanan di luar kota.
[13] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsr, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hl. 29 – 31.
[14] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Al-Haramain, Singapore, t.t., 34
[15] Dali Gulo, Kamus Psychologi, Tonis, Bandung, 1982, hal. 123

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen Pengampu Mata Kuliah Tafsir dan Ulumul Qur'an pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta