KULIAH ULUMUL QURAN

Entri yang ada pada blog ini harus dibaca oleh mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ulumul Quran di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selasa, 12 Agustus 2008

Bagian Ketiga: Nuzulul Qur'an

Pembicaraan tentang Nuzulul-Qur’an merupakan persoalan yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Urgensi pembicaraan tentang hal ini menuntut adanya kepastian dan keyakinan, bahwa Alquran yang diterima oleh Nabi Muhammad betul-betul wahyu yang datangnya dari Allah Swt. Karena itu pula masalah ini menjadi salah satu di antara rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap mukmin.

Kepercayaan terhadap Kewahyuan Alquran tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan kemestian adanya komunikasi antara Allah dengan Nabi Muhammad. Bagaimana komunikasi antara Allah sebagai Dzat yang Immateri dengan Nabi Muhammad yang materi bisa terjadi, itulah persoalan dasar yang harus ditemukan jawabannya terlebih dahulu sebelum lebih jauh membahas pengertian Nuzulul-Qur’an.

Persoalan ini sebenarnya masuk dalam wilayah kajian filsafat. Dalam filsafat, Tuhan disebut mind (akal). Atau paling tidak, Tuhan adalah Dzat yang memiliki daya pikir (berakal). Karena Tuhan adalah Akal, maka manusia sebagai makhluk yang juga berakal tidak mustahil dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Lebih-lebih jika diakui bahwa Muhammad adalah manusia pilihan, memiliki daya pikir yang lebih istimewa daripada manusia pada umumnya, maka komunikasi antara Muhammad dengan Tuhan menjadi semakin tidak mustahil. Dengan demikian, kewahyuan Alquran yang diperoleh dari adanya komunikasi antara Allah dengan Nabi Muhammad, adalah tidak mustahil.[1]

A. Pengertian Nuzulul-Quran

Secara bahasa frase Nuzulul-Quran (نزول القرآن) berarti turunnya Alquran. Kata Nuzul (turun) jika dipahami berdasarkan arti hakiki (bukan sebagai kata kiasan) adalah “berpindahnya sesuatu dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah”. Jika pengertian ini dikaitkan dengan turunnya Alquran, maka menjadi tidak mungkin. Karena Alquran yang dimaksud bukanlah Mushaf Alquran yang bersifat materi, melainkan Alquran yang ada pada Dzat Allah, yang bersifat immateri. Dengan demikian, pengertian kata Nuzul harus digunakan dalam arti kiasan (makna majazi). Sedangkan penggunaan kata Nuzul (turun) dalam konteks turunnya Alquran memberikan indikasi makna, bahwa Allah sebagai Dzat yang menurunkan Alquran berada pada posisi yang lebih tinggi dan lebih agung daripada Nabi Muhammad yang menerimanya.

Berkaitan dengan makna majazi kata nuzul, sebagian ulama berpendapat, bahwa makna majazi yang dapat digunakan untuk arti kata nuzul adalah الإظهار sehingga frase نزول القرآن berarti sama dengan إظهار القرآن (menampakkan Alquran, menjadikan Alquran yang immateri dan tidak tertangkap oleh indra manusia menjadi tertangkap). Dalam hal ini nuzulul-Qur’an berarti proses materialisasi Alquran, dari immateri kemudian diucapkan oleh Jibril menjadi susunan kalimat yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran NabiMuhammad Saw.

Sebahagian ulama lainnya juga berpendapat, bahwa makna majazi yang dapat digunakan sebagai arti dari kata nuzul ialah الإعلام به, sehingga frase نزول القرآن berarti sama dengan الإعلام بالقرآن yang berarti pemberitahuan Allah tentang susunan lafal dan makna Alquran kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Dikatakan, bahwa Allah mengajarkan kalam-Nya kepada Jibril di langit, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Muhammad di bumi.[2]

Kedua pengertian ini sama-sama dapat diterima dalam kaitannya dengan pengertian Alquran sebagai Kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Jika kata Nuzul diartikan sama dengan Izhar, ini menunjukkan proses transformasi Wahyu (Alquran) dari Dzat yang Immateri (Allah) kepada Rasul-Nya (Muhammad) yang materi. Demikian pula jika kata Nuzul diartikan sama dengan I’lam, maka Nuzulul-Quran berarti, bahwa Allah memberitahukan ajaran berupa lafal dan makna yang terkandung dalam Alquran kepada Rasul-Nya melalui malaikat Jibril.[3] Walhasil, makna diturunkannya Alquran (Nuzulul-Quran) bukanlah perpindahan Alquran dari suatu tempat yang tinggi ke tempat lain yang lebih rendah, karena hal yang demikian adalah mustahil.

Penggunaan kata Nuzul (turun) dalam konteks penyampaian wahyu Alquran kepada Nabi Muhammad menunjukkan kebesaran dan ketinggian Dzat yang memiliki kalam tersebut (Allah). Sebagaimana pengertian kata nuzul secara harfiah, yaitu perpindahan sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.

Kata Nuzul (نزول) dalam Alquran lebih banyak digunakan dalam bentuk Inzal (أنْزَلَ – يُنْزِلُ - إنْزَال) dan Tanzil (نَزَّلَ – يُنَزِّلُ – تَنْزِيْل) . Seperti pada ayat:

Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan (Q.S. Al-Qadr/97: 1)

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (Q.S. Al-Hijr/15: 9)


B. Fase dan Tahapan Nuzulul-Quran

Fase turunnya Alquran yang dimaksud dalam hal ini adalah proses yang dilalui Alquran sebelum sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Proses ini oleh Az-Zarqani [1988: 43] disebut sebagai Tanazzulat al-Qur’an (تـــــنزلات القرآن) . Menurutnya, Alquran diturunkan melalui tiga fase, yaitu:

1) Lauh Mahfuzh (لوح محفوظ):

Adanya fase ini didasarkan pada firman allah:

Artinya:

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh. (Q. S. Al-Buruj/85: 21 – 22)

Selain dari ayat di atas, firman Allah yang juga dapat dijadikan dasar adalah:

Artniya: Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang (makhluk) yang disucikan. (Q.S. al-Waqi’ah/56: 77-79)

Eksistensi Lauh Mahfuzh sebagai wadah terdapatnya Alquran pada kali pertama tidak lain adalah ilmu (pengetahuan) Allah itu sendiri.[4] Karena itu, kalau dikatakan dalam Alquran:

Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Q.S. Al-Hadid/57: 22).

Maka yang dimaksud adalah, bahwa segala peristiwa yang terjadi di muka bumi ini sudah diketahui oleh Allah sejak sebelumnya, bahkan sejak zaman azali. Hal ini dapat terjadi, karena Allah memiliki sifat Maha Mengetahui. Pengetahuan-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan tidak pula tergantung pada peristiwa.

2) Bait al-‘Izzah (بيت العــزة) : Dasar pemikiran adanya fase turunnya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah ini adalah bahwa Alquran diturunkan sekaligus pada suatu malam penuh berkah (ليلة مباركــة) yang disebut juga malam al-Qadr (ليلة القدر ). Hal ini sesuai dengan firman Allah:

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam yang penuh berkah. (Q. S. Ad-Dukhan/44: 3)

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam Al-Qadr. (Q. S. Al-Qadr/97: 1)
Artinya:

Bulan Ramadhan yang telah diturunkan Alquran di dalamnya … (Q. S. Al-Baqarah/2: 185)

Berdasarkan ketiga ayat di atas, Alquran diturunkan pada malam yang penuh berkah, malam al-Qadr yang terjadi pada bulan Ramadhan. Menurut Hadits Rasulullah, malam tersebut terjadi pada malam-malam likuran ganjil di bulan Ramadhan. Yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan. Hal ini berarti, bahwa malam Nuzulul Quran adalah malam likuran ganjil di bulan Ramadhan. Akan tetapi dalam kenyataannya umat Islam memperingati Nuzulul Quran setiap tahunnya tidak pada malam likuran ganjil, melainkan pada tanggal 17 Ramadhan. Itulah sebabnya para ulama membedakan antara malam turunnya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah yang terjadi pada malam al-Qadr dengan malam turunnya Alquran dari Bait al-‘Izzah kepada Nabi Muhammad yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan.

Selain dari alasan di atas Az-Zarqani mengemukakan empat buah Hadits yang secara eksplisit menjelaskan, bahwa Alquran diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul-’Izzah, di langit dunia. Salah satu di antara hadits-hadits tersebut dikemukakan oleh Az-Zarqani sebagai berikut:

أَخْرَجَ اْلحَاكِمُ بِسَنَدِهِ عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ أنه قال: فُصِّلَ اْلقُرْآنُ مِنَ الذِّكْرِ فَوُضعَ فِىْ بَيْتِ اْلعِزَّةِ مِنَ السَّمـَـاءِ الدُّنْيَا فَجَعَلَ جِبْرِيْلُ يَنْزِلُ بِهِ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Artinya: Al-Hakim mengeluarkan hadits dengan sanad dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata: Alquran dipisahkan dari adz-Dzikr, lalu diletakkan di Bait al-‘Izzah dari langit dunia, kemudian diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.

Turunnya Alquran dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah pada malam al-Qadr terjadi sekaligus. Fase ini berbeda dengan fase turun berikutnya yang terjadi secara berangsur-angsur.

3) Nabi Muhammad di dunia (bumi): Pada fase ini, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas, Alquran diturunkan dari Bait al-’Izzah, secara bertahap sedikit demi sedikit, disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Ayat-ayat yang turun pada fase ini kadangkala didahului oleh sesuatu peristiwa (sebab nuzul) dan kadangkala juga tidak.

Adapun tahapan turunnya Alquran yang dimaksud dalam hal ini adalah, bahwa penyampaian Alquran kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril dilakukan dalam rentang waktu yang berjalan selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, mulai tanggal 17 Ramadhan tahun ke 41 dari kelahiran Nabi (610 M.) sampai dengan tanggal 9 Dzul-Hijjah tahun 10 H.[5] Atau kurang lebih 23 tahun.

Pertamakali turunnya ayat-ayat Alquran pada fase ini, yaitu pada tanggal 17 bulan Ramadhan, ditetapkan oleh para ulama sebagai hari turunnya Alquran (nuzulul-Quran) yang diperingati setiap tahunnya hingga sekarang. Penetapan ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Anfal/8: 41,

… Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari al-Furqaan, yaitu hari bertemunya dua pasukan

Pada terjemahan yang digarisbawahi dari ayat diatas, sebagian ahli tafsir berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan hari al-Furqan ialah hari turunnya Alquran. Hari tersebut bersamaan waktunya dengan hari bertemunya dua pasukan (hari peperangan). Karena pada surat al-Baqarah/2: 185 dijelaskan bahwa Alquran diturunkan pada bulan Ramadhan, hari bertemunya dua pasukan dalam hal ini juga yang terjadi pada bulan Ramadhan. Setelah ditelusuri dalam sejarah, ternyata peperangan yang terjadi pada bulan Ramadhan hanyalah perang Badar, yang terjadi pada hari Jum'at tanggal 17 bulan Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Dengan demikian maka ditetapkanlah tanggal tersebut (17 Ramadhan) sebagai tanggal turunnya Alquran yang diperingati oleh umat Islam hingga saat ini. Kesamaan tanggal turunnya Alquran dengan hari terjadinya perang Badar hanyalah pada tanggal dan bulannya saja; sedangkan tahunnya berbeda.

Berdasarkan keterangan yang demikian ini, maka peringatan Nuzulul-Qur’an tidak dilakukan pada malam-malam likuran ganjil di bulan Ramadhan, sebagai malam al-Qadr yang ditunjukkan oleh Surat Al-Qadr/97: 1 dan ad-Dukhan/44: 3.

Turunnya Alquran pada fase ketiga ini terbagi kepada dua tahap. Tahap pertama terjadi ketika Nabi berada di Mekkah atau sebelum hijrah ke Madinah, dan tahap kedua terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat atau surat-surat Alquran yang turun pada tahap pertama (sebelum Nabi hijrah) disebut ayat Makkiyah, sedangkan pada tahap kedua (sesudah Nabi hijrah) disebut ayat Madaniyah.


C. Hikmah Diwahyukannya Alquran Secara Berangsur-angsur

1. Untuk meneguhkan dan menguatkan hati Nabi. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran:

Artinya:

Orang-orang kafir berkata, “Mengapa Alquran tidak diturunkan kepada Muhammad sekaligus saja?” Demikianlah (Alquran diturunkan secara berangsur-angsur) agar Kami dapat memperkuat hatimu dan membacanya secara tartil. (Q. S. Al-Furqan/25: 32)

2. Untuk mendidik dan membimbing umat Islam secara perlahan-lahan dalam menghafalkan, memahami dan melaksanakan kandungan Alquran.

3. Untuk menyesuaikan turunnya ayat dengan pristiwa-pristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang melatar belakangi turunnya (Asbabun-Nuzul) ayat-ayat tertentu.

4. Untuk membuktikan kepada umat manusia, bahwa Alquran betul-betul bersumber dari Allah, bukan karangan Nabi Muhammad sendiri, sebagaimana dituduhkan oleh kalangan Orientalis.[6]




[1] Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. IV, 1983, hal. 21

[2] Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, ‘Isa al-Baby al-Halaby, Kairo, 1972, hal. 229

[3] Dr. Hasanuddin AF. Anatomi Alquran: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Alquran, Rajawali Press, Jakarta, 1995, 28 – 29

[4] Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Jilid VII, hal. 394 – 395, menyebutkan bahwa kata Al-Kitab pada surat Al-An’am/6: 38, kata Ummul-Kitab pada surat Al-Ra’d dan Al-Zukhruf oleh sebagian mufassir diartikan sebagai Lauh Mahfuzh, sedangkan oleh ulama yang lain mengartikannya sebagai العلم الإلـهي المحيط بكل شيء (pengetahuan Tuhan yang meliputi segala sesuatu). Dalam pandangan ini, Malaikat Jibril sebagai perantara dalam proses penyampaian wahyu (Alquran) dapat dipahami sebagai akal kesepuluh dalam teori Emanasi yang dikemukakan oleh Filosof Muslim Al-Farabi (Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, Cet. II, 1986, hal. 12 – 14, 32).

[5] Al-Khudhary, Syeikh Muhammad, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, Darul-Fikr, Beirut, 1981, hal. 8

[6] Az-Zarqani, Op. Cit., jilid I, hal 53 - 60; bandingkan dengan Hasanuddin AF, Op. Cit., hal. 35 – 40

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen Pengampu Mata Kuliah Tafsir dan Ulumul Qur'an pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta