KULIAH ULUMUL QURAN

Entri yang ada pada blog ini harus dibaca oleh mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ulumul Quran di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rabu, 03 September 2008

Bagian Kedelapan: MUHKAM dan MUTASYABIH dalam ALQURAN

Pokok Bahasan IX - XII dapat dibuka di sini.

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam: Secara bahasa, kata Muhkam adalah kalimat bahasa Arab yang berasal dari kata أحكم – يحكم – إحكام , kemudian bentuk isim maf’ulnya menjadi محكم (muhkam). Kata ini mengandung makna: Kekukuhan, Kesempurnaan, Keseksamaan, dan Pencegahan. Sedangkan kata Mutasyabih berasal dari kata تشابه – يتشابه – تشابه , kemudian isim fa’ilnya menjadi متشابه (Mutasyabih). Kata ini mengandung arti keserupaan dan kesamaan yang mengarah pada kesamaran.

Sedangkan menurut istilah, pengertian muhkam dan mutasyabih mengundang banyak perhatian di kalangan ulama ahli ulumul Qur’an. Beberapa pendapat di antaranya, seperti dikemukakan Al-Zarqani (1988: II, 272 – 275) adalah sebagai berikut:

1. Muhkam adalah ayat yang jelas dan nyata maksudnya serta tidak mengandung kemungkinan nasakh. Sedangkan Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui maksudnya kecuali hanya oleh Allah Swt. Seperti ayat-ayat tentang akan datangnya hari kiamat, potongan huruf-huruf hijaiyah di awal surat. Imam Al-Alusi menisbatkan pendapat ini kepada Pemimpin Madzhab Hanafi.

2. Muhkam adalah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun dengan cara ta’wil. Sedangkan Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya. Seperti tentang datangnya hari liyamat, keluarnya Dajjal, dan potongan huruf-huruf Hijaiyah di awal surat. Pendapat ini dipandang sebagai pendapat yang terpilih di kalangan Ahlus Sunnah.

3. Muhkam ialah ayat yang hanya mengandung satu kemungkinan makna ta’wil. Sedangkan Mutasyabih ialah ayat yang banyak mengandung kemungkinan makna ta’wil. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan diikuti oleh kebanyakan ahli Ushul Fiqh.

4. Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Sedangkan Mutasyabih ialah ayat yang tidak bisa berdiri sendiri, bahkan memerlukan keterangan. Kadangkala diterangkan dengan sesuatu hal dan kadangkala juga diterangkan dengan suatu hal yang lain lagi., karena adannya perbedaan dalam penta’wilannya. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Ahmad r.a.

5. Muhkam ialah ayat yang redaksi dan susunannya tepat, serta melahirkan makna yang lurus (ajeg), tanpa terjadinya penyimpangan. Sedangkan Mutasyabih ialah ayat yang secara bahasa tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan makna yang sebenarnya, kecuali bila dibarengi dengan suatu indikasi tertentu atau dipahami secara kontekstual. Dalam pengertian demikian ini, termasuk lafal musytarak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Al-Haramain.

6. Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak problematis; terambil dari kata Ihkam yang berarti sempurna (Itqan). Sedangkan Mutasyabih adalah kebalikannya. Muhkam terdiri dari lafal Nash dan lafal Zhahir. Mutasyabih terdiri dari isim-isim musytarak dan lafall-lafal yang menggambarkan tasybih tentang hakekat Allah Swt. Pendapat ini dinisbatkan kepada sebagian Ulama Mutaakhkhirin; tetapi ini sebenarnya pendapat Al-Thibi.

7. Muhkam adalah ayat yang petunjuk (dilalah)nya kuat, yaitu berupa nash dan zhahir; sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya, petunjuk (dilalah)nya tidak kuat, yaitu lafal-lafal yang bersifat mujmal (global), mu’awwal (harus dita’wilkan), dan musykil (problematis, sulit dipahami). Pendapat terakhir ini dinisbatkan kepada Imam Al-Razi dan diikuti oleh kebanyakan ulama, [termasuk di dalamnya Imam Al-Zarqani sendiri].

B. Sikap ulama terhadap ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih

Mengenai status ayat-ayat Muhkamat (Muhkam) tidak ada pemikiran yang kontroversial di kalangan para ulama. Karena ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan tegas maknanya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Perbedaan pendapat terjadi ketika membicarakan tentang kedudukan ayat-ayat mutasyabihat (mutasyabih). Persoalannya adalah, “Apakah ayat-ayat mutasyabihat itu dapat diketahui makna (ta’wil)nya oleh manusia atau tidak?” Dengan kata lain, “Apakah makna (ta’wil) ayat-ayat mutasyabihat itu hanya dapat diketahui oleh Allah saja, selain Allah tidak ada yang dapat mengetahuinya? Atau manusia juga ada yang dapat mengetahuinya?”

Perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang kedudukan ayat-ayat mutasyabihat ini bersumber dari perbedaan penafsiran mereka terhadap surat Ali Imran/3: ayat 7 sebagai berikut:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب و أخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة و ابتغاء تأويله و ما يعلم تأويله إلا الله و الرسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا و ما يذكر إلا أولوا الألباب .

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat; adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [Ali Imran/3: 7]

C. Fawatihus-suwar

Secara bahasa, Fawatih al-Suwar (فواتح السور) berarti pembuka surat-surat Alquran. Dalam hal ini, dari 114 surat yang terdapat dalam Alquran, Allah membukanya dengan 10 (sepuluh) macam pembuka surat. Yaitu:

1. Pujian (الثناء) , pembuka surat ini terbagi kepada:

a. al-Tahmid, ada lima surat:

1) al-Fâtihah,

2) al-An’ẩm,

3) al-Kahfi,

4) Saba’,

5) Fâthir.

b. al-Tabâruk, ada dua surat:

1) al-Furqan,

2) al-Mulk.

c. al-Tasbîh, ada tujuh surat, yaitu:

1) al-Isrẩ’ (dalam bentuk mashdar),

2) al-Hadîd (dalam bentuk Fi’il Madhi),

3) al-Hasyr (dalam bentuk Fi’il Madhi),

4) al-Shaff (dalam bentuk Fi’il Madhi),

5) al-Jumu’ah (dalam bentuk Fi’il Mudhari’),

6) al-Taghâbun (dalam bentuk Fi’il Mudhari’),

7) al-A’lâ (dalam bentuk Fi’il Amr).

2. Potongan Huruf Hijaiyah (حروف التهجي/ الحروف المقطعة)

Dalam Alquran terdapat 29 surat yang diawali dengan potongan huruf hijaiyah. Ke 29 surat tersebut terbagi kepada lima kelompok:

a. Diawali dengan satu huruf (muwahhadah), ada tiga surat:

1) Shad/38:

2) Qaf/50:

3) Nun (al-Qalam)/68:

b. Diawali dengan dua huruf (mutsanna), ada sembilan surat:

1) al-Mu’min/40:

2) Fushshilat/41:

3) al-Dukhan/44:

4) al-Jatsiyah/45:

5) al-Ahqaf/46:

6) Thaha/20:

7) al-Naml/27:

8) Yasin/36:

c. Diawali dengan tiga huruf (mutsalatsaah), ada 13 surat:

1) al-Baqarah/2:

2) Ali Imran/3:

3) al-Ankabut/29:

4) al-Rum/30:

5) Luqman/31:

6) al-Sajadah/32:

d. Diawali dengan empat huruf (muraba’ah), ada dua surat:

1) al-Ra’d/13:

2) al-A’raf/7:

e. Diawali dengan lima huruf (mukhamasah), ada dua surat:

1) Mayam/19:

2) al-Syura/42:

Dalam kaitannya dengan kajian tentang Muhkam dan Mutasyabih, jenis pembuka surat yang terdiri dari potongan huruf-huruf hijaiyah ini merupakan fawatih al-suwar yang merupakan ayat-ayat mutasyabihat.

3. Al-Nida’ (Seruan/Panggilan), jenis pembuka surat ini terbagi menjadi:

a. Panggilan kepada Nabi, ada tiga surat:

1) al-Ahzab/33:

2) al-Muzzammil/73:

3) al-Muddatstsir/74:

b. Panmggilan kepada orang-orang mukmin, ada tiga surat:

1) al-Ma’idah/5:

2) al-hujurat/49:

3) al-Mumtahanah/60:

c. Panggilan kepada Manusia, ada dua surat:

1) al-Nisa’/4:

2) al-Hajj/22:

4. Jumlah Khabariah (Kalimat Berita), jenis pembuka surat ini terbagi kepada dua macam:

a. Jumlah Ismiyah (Kalimat Nominal), ada sepuluh surat:

1) al-Taubah/9:

2) al-Nur/24:

3) al-Zumar/39:

4) Muhammad/47:

5) al-Fath/48:

6) al-Rahman/55:

7) al-Haqqah/69:

8) Nuh/71:

9) al-Qadr/97:

10) al-Qari’ah/101:

11) al-Kautsar/108:

b. Jumlah Fi’liyah (Kalimat Verbal), ada 12 surat:

1) al-Anfal/8:

2) al-Nahl/16:

3) al-Anbiya’/21:

4) al-Mu’minun/23:

5) al-Qamar/54:

6) al-Mujadilah/58:

7) al-Ma’arij/70:

8) al-Qiyamah/75:

9) ‘Abasa/80:

10) al-Balad/90:

11) al-Takatsur/102:

5. Al-Qasam (Sumpah), jenis ini terbagi kepada:

a. ‘Ulya, ada delapan surat:

1) al-Shaffat/37:

2) al-Najm/53:

3) al-Mursalat/77:

4) al-Nazi’at/79:

5) al-Buruj/85:

6) al-Thariq/86:

7) al-Fajr/89:

8) al-Syams/91:

b. Sufla, ada empat surat:

1) al-Dzariyat/51:

2) al-Thur/52:

3) al-Tin/95:

4) al-‘Adiyat/100:

c. Waqt, ada tiga surat:

1) al-Lail/92:

2) al-Dhuha/93:

3) al-‘Ashr/103:

6. Al-Syarth (Kalimat Syarat), jenis ini terbagi kepada dua:

a. Syarath dengan Jumlah Ismiyah, ada tiga surat:

1) al-Takwir/81:

2) al-Infithar/82:

3) al-Insyiqaa/84:

b. Syarath dengan Jumlah Fi’liyah, ada empat surat:

1) al-Waqi’ah/56:

2) al-Munafiqun/63:

3) al-Zalzalah/99:

4) al-Nashr/110:

7. Al-Amr (Fi’il Amar/Perintah), Jenis ini terbagi dua:

a. Amr dengan Iqra’, hanya ada satu surat, yaitu al-‘Alaq/96:

b. Amr dengan Qul, terdapat tiga surat:

1) al-Jinn/72:

2) al-Kafirun/109:

3) al-Ikhlash/112:

4) al-Falaq/113:

5) al-Nas/114:

8. Al-Istifham (Kalimat Tanya), jenis ini terbagi kepada:

a. al-Istifham al-Ijabiy (Kalimat tanya positif), ada tiga surat:

1) al-Insan/76:

2) al-Naba’/78:

3) al-Ghasyiyah/88:

b. al-Istifham al-Salabiy (Kalimat tanya negasi), ada dua surat:

1) al-Insyirah/94:

2) al-Ma’un/107

9. Ad-Du’a’ (Do’a), jenis ini terbagi kepada dua:

a. Du’a dengan jumlah Ismiyah, ada dua surat:

1) al-Muthaffifin/83:

2) al-Lumazah/104:

b. Du’a dengan Jumlah Fi’liyah, hanya ada satu surat, yaitu surat al-Lahab/111:

10.Lam at-Ta’lil (Lam yang berarti Karena), jenis ini hanya terdapat satu surat dalam Alquran, yaitu Surat Qureisy/106:

D. Hikmah adanya ayat-ayat mutasyabihat

1. Memperbanyak pahala bagi orang yang memiliki kecendrungan mendalami Alquran. Karena semakin banyak bidang kajian yang harus dikembangkan.

2. Pembenaran terhadap adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, sehingga setiap kelompok umat menyadari keterbatasannya dalam memahami firman Tuhan. Sebagai konsekwensi logis dari kesadaran ini adalah tidak adanya fanatisme golongan yang menafikan kebenaran pada pihak lain.

3. Meningkatkan semangat keilmuan di kalangan umat Islam yang berupaya memahami makna ayat-ayat mutasyabihat, sehingga lahirlah berbagai macam metode istinbath hukum yang sangat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Sebagai agama dakwah, ajaran Islam tertuju kepada semua lapisan umat manusia, ‘awam maupun intelek. Karena itu gambaran antrophomorfis tantang Tuhan dapat menggiring masyarakat ‘awam untuk mengenal Tuhan sebagai Dzat yang Immateri.


Referensi:

الدكتور صبحى الصالح, مباحث فى علوم القرآن, دار العلم للملايين, بيروت, ط. 17, 1988

Dr. Shubhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus), Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. IV, 1993

الدكتور مناع خليل القطان, مبلحث فى علوم القرآن, منشورة العصر الحديثة, رياض, 1973

Dr. Manna’ Khalil al-Qaththan, Study Ilmu-ilmu Quran (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.), Litera Antar Nusa, Bogor, Cet. I, 1992

جلال الدين عبد الرحمن السيوطى, الإتقان فى علوم القرآن, مصطفى البابى الحلبى, مصر, 1951

محمد عبد العظيم الزرقانى, مناهل العرفان فى علوم القرآن, دار الفكر, بيروت, لبنان, 1988

الدكتور محمد حسين الذهبى, التفســـير والمفســرون, دار الكتب الحديثة, 1976

Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqie, Ilmu-ilmuAlquran, Bulan Bintang, Jakarta.

----------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1980

Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar lmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1985

Dr. Fuad bin Abdurrahman ar-Rumi, دراسات فى علوم القرآن (Ulumul-Quran: Studi Kompleksitas Alquran), Titian Ilahi, Yogyakarta, 1997

Departemen Agama RI, Muqaddimah Alquran dan Tafsirnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci, Jakarta

بدر الدين محمد بن عبد الله الزركاشى, البرهان فى علوم القرآن, عيسى البابى الحلبى و شركاه, د.س

Ahmad Von Denffer, Ulumul Quran: An Introduction to The Sciences of The Qur’an (Ilmu-ilmu Alquran: Pengantar dasar), Terj. Ahmad Nashir Budiman, CV Rajawali, Jakarta, 1988

محمد بن لطفى السبــاق, لمحات فى علوم القرآن واتجاهات التفســير, المكتبة الاســلامى, بيروت, ط.3, 1990

Dr. Hasanuddin AF. Anatomi Alquran: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Alquran, Rajawali Press, Jakarta, 1995

Prof. Dr. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI-Press, Jakarta, 1986

H. Ahmad Fathoni, Lq., Kaedah Qiraat Tujuh, Institut Studi Ilmu Alquran (ISIQ), Jakarta, 1992

----------, “QIRAAT TUJUH ALQURAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN RASAM USMANY”, dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alquran, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta, 1986

M. Qureish Shihab, Membumikan Alquran, Mizan, Bandung, 1992

----------, Mukjizat Alquran, Mizan, Bandung, 1997

M. Mutawally asy-Sya’rawi, معجــزة القـــرآن (Mukjizat Alquran), Risalah, Bandung, 1984

Prof. K.H. Busthami Abdul Ghani, “Alquran sebagai Mukjizat dan Hidayat” dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alquran, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta, 1986

Drs. H. Khotibul Umam, “Kemukjizatan alquran dari segi Uslaub dan Isi”, dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alquran, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta, 1986

Sayyid Ahmad Saqar (ed.), اعجاز القـرآن للباقـــلانى, دار المعارف, القاهــرة, دس.

Dr. Hamdani Anwar, Pengantar Ilmu Tafsir (bagian Ulumul Quran), Fikahati Aneska, Jakarta, 1995

Drs. Ramli Abdul Wahid, UlumulQuran, Rajawali, Jakarta, 1994

M. Ali ash-Shabuni, التبيــان فى علــوم القـرآن (Pengantar Studi Alquran), PT. Alma’arif, Bandung, 1987

Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Al-Haramain, Jeddah, t.t.

Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998

Al-Khudhary, Syeikh Muhammad, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, Darul-Fikr, Beirut, 1981

Bagian Ketujh: MUNASABAH dalam ALQURAN

A. Pengertian Munasabah Alquran

Secara bahasa, Munasabah berarti hubungan, persesuaian dan keterkaitan. Sedangkan dalam bahasa Arab kata مناسبة diartikan sama dengan مقاربة (saling berdekatan) atau juga berati “hubungan kekerabatan” (hubungan nasab). Sedangkan pengertian Munasabah menurut istilah dalam Ulumul-Quran, antara lain dikemukakan oleh M. Qureish Shihab (dalam Hamdani Anwar, 1995: 124), “Kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Alquran, baik antara surat maupun ayat-ayatnya, yang menghubungkan antara uraian yang satu dengan lainnya”.

Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan :

وجه الارتباط بين الجملة و الجملة في الآية الواحدة أو بين الآية و الآية في الآيات المتعددة أو بين السورة و السورة.

Munasabah adalah segi-segi keterkaitan antara beberapa kalimat (jumlah) dalam satu ayat, atau antara ayat dengan ayat dalam satu surat, serta antara surat dengan surat (dalam Alquran).

B. Dasar pemikiran adanya Munasabah dalam Alquran

Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejarah munculnya kajian tentang munasabah tidak terjadi pada masa Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau empat abad setelah masa beliau. Hal ini berarti, bahwa kajian ini bersifat taufiqi (pendapat para ulama). Karena itu, keberadaannya tetap sebagai hasil pemikiran manusia (para ahli 'Ulumul-Quran), yang bersifat relatif, mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sama halnya dengan hasil pemikiran manusia pada umumnya, yang bersifat relatif (Zhanniy).

Sungguhpun keberadaannya mengandung nilai kebenaran yang relatif, namun dasar pemikiran tentang adanya munasabah dalam Alquran ini berpijak pada prinsip yang bersifat absolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan) ayat-ayat Alquran, sebagaimana kita lihat sekarang adalah bersifat Tauqifi, yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah berdasarkan petunjuk dari Allah (Wahyu), bukan susunan manusia.* Atas dasar pemikiran inilah, maka sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan yang sangat teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, secara sistematis, tentulah dalam susunan ayat-ayat Alquran terdapat korelasi, keterkaitan makna (munasabah) antara suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya. Karena itu pula, sebagian ulama menamakan Ilmu Munasabah ini dengan علم أســرار ترتيب الآيات و السور فى القرآن الكريم (Ilmu tentang rahasia/hikmah susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam Alquranul-Kariem).

Berbeda dengan susunan ayat-ayat dalam setiap surat yang oleh para ulama disepakati sebagai susunan yang bersifat tauqifi, maka susunan surat-surat dalam Alquran masih diperselisihkan oleh para ulama, apakah bersifat taqifi atau tafiqi. Bagi kalangan ulama yang beranggapan bahwa susunan surat-surat dalam Alquran bersifat tauqifi, maka munasabah antar surat tidak mesti ada. Sedangkan bagi ulama yang berpendapat susunan surat-surat Alquran bersifat tauqifi, maka munasabah antar surat mesti ada.

C. Macam-macam Munasabah Alquran

1. Munasabah antar penggalan ayat/Kalimat

Satu ayat dapat terdiri dari beberapa penggalan yang masing-masing merupakan kalimat/jumlah. Seringkali antara penggalan-penggalan tersebut memiliki munasabah/ keterkaitan, yang kadang-kadang jelas dan kadang-kadang samar. Sedangkan makna yang terkandung dalam munasabah tersebut bermacam-macam. Antara lain:

a. Kontradiktif

Yaitu suatu penggalan dengan penggalan yang lain dihubungkan dengan huruf ‘athaf dan memiliki makna berlawanan antara ma’thuf dengan ma’thuf ‘alaihnya. Seperti pada firman Allah:

يعلم ما يلج فى الارض وما يخرج منها وما ينزل من الســــــمآء وما يعرج فيها (الحديد/74: 4)

Kata يلج pada ayat di atas berlawanan dengan kata يخرج . Begitu pula kata ينزل berlawanan dengan kata يعرج. Selain itu pada ayat tersebut juga terdapat munasabah syibhul-mudhadah, yaitu semi kontradiksi antara kata الارض dengan kata السمآء . [As-Suyuthi, 1979: 63 - 64]

b. Tafsir (التفسير)

Yaitu suatu penggalan ayat yang berfungsi sebagai penafsir terhadap penggalan lainnya. Contohnya seperti pada Surat Ali Imran/3: 110,

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف و تنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ...

Penggalam kata خير أمة dalam ayat ini ditafsirkan dengan penggalan kata تأمرون بالمعروف dan تنهون عن المنكر serta kata تؤمنون بالله .

c. Pengaliha(الاستطراد)

Yaitu perpindahan dari suatu kalimat ke kalimat lain yang masih ada kaitannya. Seperti pada surat Al-A’raf/7: 26, firman Allah:

يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباسا يواري سوآتكم و ريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من آيات الله لعلهم يذكرون (الاعراف: 26)

Hubungan antara penggalan ayat لباسا يواري سوآتكم (pakaian yang menutupi aurat) dengan penggalan لباس التقوى (pakaian taqwa) adalah perpindahan (للاستطراد) , yaitu pengalihan pembicaraan dari pakaian dalam pengertian yang sebenarnya (sebagai penutup aurat) kepada taqwa sebagai pakaian. Munasabahnya adalah bahwa taqwa sebagai pakaian dapat melindungi manusia dari adzab Allah, sebagaimana halnya baju/pakaian dapat melindungi manusia dari udara panas atau dingin.

d. Prumpamaan (التمثيل)

Yaitu suatu penggalan ayat berfungsi sebagai perumpamaan terhadap penggalan lainnya. Seperti pada firman Allah:

يسئلونك عن الاهلة قل هي مواقيت للناس والحج وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها ولــكن البر من اتقى وأتوا البيوت من أبوابها و اتقوا الله لعلكم تفلحون (البقرة/2: 189)

2. Munasabah antara kandungan ayat dengan fashilah ayat

Contoh. Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat/49: 12,

يآيّها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظنّ إن بعض الظنّ إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحبّ أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إنّ الله توّاب رحيم. (الحجرات: 12)

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, hindarilah banyak berprasangka. Sesungguhnya, sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu tidak suka. Dan bertaqwalah kepada Allah; sesunggunya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Kalimat yang digarisbawahi pada ayat di atas adalah penutup ayat yang disebut Fashilah al-ayat (فاصلة الآية) . Fashilah al-ayat ini memiliki keterkaitan makna (Munasabah) dengan kandungan ayatnya. Munasabah tersebut mengandung makna, bahwa ketiga macam larangan (berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing) yang merukpakan kandungan ayat tersebut, ada hal-hal yang sulit dihindari oleh manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Allah membuka pintu taubat dan mencurahkan belas kasihnya terhadap orang-orang yang terlanjur melanggar larangan-larangan tersebut. Hal ini juga berarti, bahwa apabila seseorang terlanjur melanggar larangan dalam ayat ini, maka hendaklah segera bertaubat, karena allah Maha Penerima Taubat.

3. Munasabah antar ayat

Contoh, firman Allah dalam surat Al-Ma’un/107: 4 - 7,

فويل للمصـلين(4) الذين هم عن صــلوتهم ساهون(5) الذين هم يرآءون(6) و يمنعون الماعون(7)

Artinya: Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan (menolong orang lain) dengan barang yang berguna.

Jika ayat 4 dari surat Al-Ma’un ini dipahami secara parsial (terpisah dari ayat 5, 6, dan 7) maka akan diperoleh pemahaman yang menyimpang dari kewajiban shalat. Oleh sebab itu, untuk memahami ayat 4 secara benar harus dilihat munasabahnya dengan ayat 5, 6 dan 7. Inilah yang disebut munasabah antar ayat.

4. Munasabah antar kelompok ayat

Contoh, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 1 - 5,

آلـــم . ذلك الكتاب لاريب فيه هدى للمتقين . الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصــلوة ومما رزقناهم ينفقون. والذين يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالآخرة هم يوقنون . اولـــــــئك على هدى من ربهم واولـــئك هم المفلحون .

Kelima ayat ini merupakan sekelompok ayat yang berbicara tentang golongan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin), yaitu kategori orang yang baik-baik.

Kelompok ayat berikutnya adalah ayat 6 dan 7,

ان الذين كفروا سوآء عليهم ءأنذرتهم أم لم تنذر هم لايؤمنون . ختم الله على قلوبهم وعلى سمعهم وعلى أبصارهم غشاوة ولهم عذاب عظيم .

Ayat-ayat ini merupakan kelompok ayat yang berbicara tentang golongan orang-orang kafir.

Sedangkan kelompok ayat yang ketiga (ayat 8 - 20),

ومن الناس من يقول آمنا بالله وباليوم الآخر وماهم بمؤمنين . .. إن الله على كل شيء قدير (البقرة : 8 - 20)

Ayat-ayat ini adalah kelompok ayat yang berbicara tentang golongan orang-orang munafik. Yakni kelompok orang-orang pertengahan antara muttaqin dan kafir.

Dari ketiga macam kelompok ayat tersebut di atas dapat ditarik suatu munasabah, bahwa Allah, setelah berbicara tentang orang yang baik-baik (muttaqin), kemudian berbicara tentang orang-orang yang tidak baik (kafir), setelah itu barulah Dia berbicara tentang golongan orang yang setengah baik, setengah tidak, yaitu orang-orang munafiq.

5. Munasabah antar surat

Mengenai munasabah antar surat-surat dalam Alquran, para ulama berbeda pendapat, apakah ada munasabah antar surat atau tidak. Perbedaan ini muncul dari pandangan yang mendasarinya, yaitu, apakah susunan surat-surat dalam Alquran itu bersifat taufiqi (hasil ijtihad para sahabat/ulama) atau bersifat tauqifi (atas dasar ketentuan dari Allah). Bagi kalangan ulama yang berpandangan bahwa tartibus-suwar (penyusunan surat-surat Alquran) itu berdasarkan hasil ijtihad para sahabat, maka munasabah antar surat tidak mesti ada. Sebaliknya, bagi kalangan ulama yang berpandangan bahwa tartibus-suwar itu bersifat tauqifi, maka munasabah antar surat itu pasti ada.

Jika diakui adanya munasabah antar surat, maka macam-macam munasabah ini terbagi kepada:

a. Munasabah antara nama surat dengan isi kandungannya atau tujuan diturunkannya surat tersebut. Contohnya seperti pada surat Al-Baqarah (sapi betina). Cerita tentang sapi betina dalam surat Al-Baqarah ayat 67 – 71, inti pembicaraannya menyangkut tentang kekuasaan Allah dalam membangkitkan orang yang sudah mati. Ayat-ayat ini menjelaskan tentang betapa kekuasaan Tuhan dapat menghidupkan kembali orang yang mati, yang pada akhirnya manusia harus beriman pada adanya hari akhirat.

b. Munasabah antara akhir suatu surat dengan awal surat sesudahnya. Contohnya seperti, pada akhir surat Al-Fatihah terdapat permohonan petunjuk (hidayah) ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang mendapat nikmat (اهدنا الصراط المستقيم. صراط الذين أنعمت عليهم). Permohonan ini direspon oleh Allah dengan menetapkan Alquran sebagai petunjuk ke jalan yang lurus bagi orang-orang yang bertaqwa (ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين).

c. Munasabah antara awal suatu surat dengan akhir surat yang sama. Contohnya, seperti pada awal surat Al-Baqarah, sebagaimana tersebut di atas, Allah menetapkan Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Namun dalam perjalanan untuk merealisasikannya manusia akan mendapatkan rintangan dari orang-orang kafir. Karena itu, pada akhir surat Al-Baqarah Allah mengajarkan kepada manusia agar memohon pertolongan kepada Allah dari gangguan orang-orang kafir (فانصرنا على القوم الكافرين).

6. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kondisi sosial masyarakat tempat ayat tersebut diturunkan yang menjadi khithab ayat. Contohnya seperti pada surat Al-Ghasyiah/88: 17 – 20,

أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت. و إلى السماء كيف رفعت. و إلى الجبال كيف نصبت. و إلى الأرض كيف سطحت.

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan; dan langit bagaimana ia ditinggikan; dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan; dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Deskripsi Alquran tentang kekuasaan Allah yang dikemukakan dalam ayat di atas merupakan penggabungan penyebutan ciptaan-Nya, berupa unta, langit dan gunung beserta bumi. Penggabungan ini karena memperhatikan latar belakang sosial budaya masyarakat Arab sebagai lawan bicara yang tinggal di gurun pasir. Kehidupan mereka sehari-hari sangat akrab, bahkan bergantung pada unta, langit, gunung-gunung yang terhampar di permukaan bumi ini. [i]

D. Kegunaan mempelajari Munasabah Alquran

Secara umum, ada dua hal yang menunjukkan pentingnya kajian tentang munasabah dalam Alquran:

1. Mengetahui korelasi antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat menunjukkan, bahwa Alquran merupakan satu kesatuan yang utuh, tersusun secara sistematis dan berkesinambungan, walaupun diturunkan secara terpisah-pisah dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Hal ini akan memperkuat keyakinan, bahwa Alquran merupakan mukjizat dari Allah Swt.

2. Munasabah memperlihatkan keserasian susunan redaksi ayat-ayat maupun kalimat-kalimat Alquran, sehingga keindahannya dapat dirasakan sebagai hal yang sangat luar biasa bagi orang yang memiliki dzauq Araby.

3. Pengetahuan tentang munasabah dapat mempermudah seseorang yang akan memahami Alquran dan berupaya menafsirkannya. Karena dengan metode tafsir bir-ra’yi, para mufassir memerlukan pemahaman yang utuh terhadap makna suatu ayat yang dilihat dari keterkaitannya dengan ayat-ayat lain yang terletak sebelum maupun sesudahnya. Hal ini dapat menghindari pemahaman ayat secara parsial yang berakibat pada kekeliruan makna.


Referensi:

الدكتور صبحى الصالح, مباحث فى علوم القرآن, دار العلم للملايين, بيروت, ط. 17, 1988

Dr. Shubhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus), Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. IV, 1993

الدكتور مناع خليل القطان, مبلحث فى علوم القرآن, منشورة العصر الحديثة, رياض, 1973

Dr. Manna’ Khalil al-Qaththan, Study Ilmu-ilmu Quran (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.), Litera Antar Nusa, Bogor, Cet. I, 1992

جلال الدين عبد الرحمن السيوطى, الإتقان فى علوم القرآن, مصطفى البابى الحلبى, مصر, 1951

محمد عبد العظيم الزرقانى, مناهل العرفان فى علوم القرآن, دار الفكر, بيروت, لبنان, 1988

الدكتور محمد حسين الذهبى, التفســـير والمفســرون, دار الكتب الحديثة, 1976

Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqie, Ilmu-ilmuAlquran, Bulan Bintang, Jakarta.

----------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1980

Rif’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, Pengantar lmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1985

Dr. Fuad bin Abdurrahman ar-Rumi, دراسات فى علوم القرآن (Ulumul-Quran: Studi Kompleksitas Alquran), Titian Ilahi, Yogyakarta, 1997

Departemen Agama RI, Muqaddimah Alquran dan Tafsirnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci, Jakarta

بدر الدين محمد بن عبد الله الزركاشى, البرهان فى علوم القرآن, عيسى البابى الحلبى و شركاه, د.س

Ahmad Von Denffer, Ulumul Quran: An Introduction to The Sciences of The Qur’an (Ilmu-ilmu Alquran: Pengantar dasar), Terj. Ahmad Nashir Budiman, CV Rajawali, Jakarta, 1988

محمد بن لطفى السبــاق, لمحات فى علوم القرآن واتجاهات التفســير, المكتبة الاســلامى, بيروت, ط.3, 1990

Dr. Hasanuddin AF. Anatomi Alquran: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Alquran, Rajawali Press, Jakarta, 1995

Prof. Dr. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI-Press, Jakarta, 1986

H. Ahmad Fathoni, Lq., Kaedah Qiraat Tujuh, Institut Studi Ilmu Alquran (ISIQ), Jakarta, 1992

----------, “QIRAAT TUJUH ALQURAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN RASAM USMANY”, dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alquran, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta, 1986

M. Qureish Shihab, Membumikan Alquran, Mizan, Bandung, 1992

----------, Mukjizat Alquran, Mizan, Bandung, 1997

M. Mutawally asy-Sya’rawi, معجــزة القـــرآن (Mukjizat Alquran), Risalah, Bandung, 1984

Prof. K.H. Busthami Abdul Ghani, “Alquran sebagai Mukjizat dan Hidayat” dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alquran, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta, 1986

Drs. H. Khotibul Umam, “Kemukjizatan alquran dari segi Uslaub dan Isi”, dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Alquran, Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), Jakarta, 1986

Sayyid Ahmad Saqar (ed.), اعجاز القـرآن للباقـــلانى, دار المعارف, القاهــرة, دس.

Dr. Hamdani Anwar, Pengantar Ilmu Tafsir (bagian Ulumul Quran), Fikahati Aneska, Jakarta, 1995

Drs. Ramli Abdul Wahid, UlumulQuran, Rajawali, Jakarta, 1994

M. Ali ash-Shabuni, التبيــان فى علــوم القـرآن (Pengantar Studi Alquran), PT. Alma’arif, Bandung, 1987

Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Al-Haramain, Jeddah, t.t.

Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998

Al-Khudhary, Syeikh Muhammad, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, Darul-Fikr, Beirut, 1981


* Dari segi susunan ayat-ayatnya, Alquran mengandung nilai sastra yang sangat tinggi.



[i] Manna’ al-Qaththan, Study Ilmu-Ilmu Alquran, Litera Antar Nusa, Bogor, 1992, p. 142

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen Pengampu Mata Kuliah Tafsir dan Ulumul Qur'an pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta