KULIAH ULUMUL QURAN

Entri yang ada pada blog ini harus dibaca oleh mahasiswa yang mengikuti Mata Kuliah Ulumul Quran di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selasa, 12 Agustus 2008

Kelompok II: Al-Quran dan Wahyu

Bagian Kedua

Alquran dan Wahyu

A. Pengertian Alquran.

Secara bahasa, kata Alquran (القرآن) merupakan bentuk mashdar yang berasal dari fi’il madhi قـَرَأَ , seperti halnya kata فُرْقَانُ yang berasal dari fi’il madhi فَرَقَ. Walaupun bentuknya mashdar, kata القرآن mempunyai arti yang sama dengan isim maf’ulnya (اَلْمَقْـرُوْءُ), sebagaimana kata الْكِتَابُ memiliki arti yang sama dengan المكتوب . Dengan demikian, jika kata قَرَأَ berarti membaca, maka القرآن berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama yang diwakili oleh al-Lihyani.[1]
Pendapat kedua yang diwakili antara lain oleh al-Asy’ari mengatakan, bahwa kata القران (dibaca al-Quran, tanpa hamzah) berasal dari kata قرن yang berati menggabungkan, berkumpul, bersama-sama.[2]
Pendapat ketiga, yang diwakili oleh Ibnu Katsir dari madzhab al-Syafi’i, mengatakan bahwa kata القران (ditulis tanpa hamzah) merupakan isim jamid yang dijadikan nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., sebagaimana halnya kitab Taurat, zabur dan Injil.[3]
Menurut istilah, banyak pendapat yang dikemukakan para ulama tentang pengertian Alquran. Dari berbagai pendapat tersebut, suatu pendapat yang dipandang cukup memadai dan karenanya dikutip oleh kebanyak penulis Ulumul Quran yang datang kemudian adalah definisi yang dikemukakan oleh az-Zarqani[4] sebagai berikut:
"بِأَنَّهُ اْلكَـلاَمُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, الْمَكْـتـُوْبُ فِيْ الْمَصَاحِفِ, الْمَنْقُوْلُ بِالتَّـوَاتُرِ, الْمُتَعَبَّــدُ بِتـِـلاَوَتِهِ"
Artinya: Alquran adalah Kalamullah yang berfungsi sebagai mukjizat, diturunkan kepada Nabi Saw., ditulis dalam mushaf-mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan dipandang ibadah dalam membacanya.
Dalam definisi ini yang yang menjadi unsur utama adalah Kalam Allah (firman atau perkataan Allah). Karena banyaknya Kalam Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad, maka karakteristik/ciri khas Alquran yang membedakannya dengan Kalam Allah yang lainnya adalah:
1. Alquran berfungsi sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw. Hal ini berarti bahwa Alquran dengan kemukjizatannya dapat membuktikan kenabian Mauhammad bagi orang yang meragukannya. Berbeda dengan kitab-kitab suci sebelumnya yang hanya berfungsi sebagai pedoman hidup bagi umat pada zamannya.
2. Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini jelas membedakannya dengan kitab-kitab suci yang lain. Seperti kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa A.S.
3. Alquran ditulis ke dalam lembaran-lembaran (mushhaf). Sebagaimana diketahui, bahwa penulisan Alquran kedalam satu mushhaf terjadi pada masa Abu Bakar, segera setelah wafatnya Rasulullah. Hal ini menjamin orisinalitas (keaslian) Alquran yang terus terpelihara sampai saat sekarang.
4. Proses transformasi Alquran, baik dalam bentuk bacaan maupun tulisan, dari suatu generasi ke genarasi berikutnya, sejak dari masa Rasulullah sampai sekarang berlangsung secara mutawatir.[5] Dengan demikian, Alquran yang ada pada generasi sekarang ini tidak berbeda dengan Alquran yang diterima oleh Rasulullah dari Malaikat Jibril.
5. Membaca Alquran bernilai ibadah. Hal ini tidak berarti bahwa membaca buku-buku dan kitab-kitab yang lain tidak ada gunanya dan tidak mendapat pahala. Melainkan aktifitas membaca tersebut tetap mendapat pahala di sisi Allah yang nilainya sesuai dengan substansi bacaan, yaitu memperoleh pengetahuan dari apa yang dibacanya. Sedangkan nilai pahala dalam membaca Alquran, di samping berpahala dari sisi pemahaman maknanya (jika mengerti akan isi yang dibacanya), juga berpahala dari sisi bilangan huruf yang dilafalkannya. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw.:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِـتَابِ اللهِ فَلَـــهُ حَسَنَــةٌ، وَ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ آلــــم حَرْفٌ، بَلْ اَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ حَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Alquran), maka mendapat satu kebajikan (hasanah). Setiap kebajikan dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf” (H. R. Al-Turmudzi).[6]
B. Nama-nama Alquran
Dalam Alquran sendiri banyak disebutkan nama-nama bagi kitab suci ini. hanya saja kadangkala orang tidak membedakan antara “nama” dengan “sifat”. Sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah nama Kitab Suci ini yang disebutkan dalam Alquran. Imam As-Suyuthi, umpamanya, mengutip pendapat Abu al-Ma’ali yang dimuat dalam Kitab Al-Burhan menyebutkan, bahwa Allah menamai Alquran dengan 55 (lima puluh lima) macam nama. Namun jika diamati dengan seksama dari berbagai macam nama tersebut, didapati lima macam kata yang menunjukkan nama bagi Kitab Suci ini. Kelima macam nama tersebut antara lain disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
1. Al-Qur’ān (القـــرآن) seperti dalam ayat :
 إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Artinya: Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar [Q.S. Al-Isra’/17: 9].
Dinamakan Al-Qur’an, karena kitab suci ini merupakan kitab bacaan atau kitab yang paling banyak dibaca oleh umat manusia. Sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam setiap muslim membacanya pada setiap raka’at shalat fardhu.
2. Al-Kitāb(الكتــــاب) seperti pada ayat:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Artinya: Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan lagi padanya. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa [Q.S. Al-Baqarah/2: 2].
Dinamakan Al-Kitab karena ia merupakan sesuatu yang ditulis. Kata Al-Kitab dalam hal ini pengertiannya sama dengan Al-Maktub.
3. Al-Dzikr (الـذكـــر) seperti pada ayat:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Dzikr (Al-Qur’an) dan Kami pulalah yang memeliharanya [Q.S. Al-Hijr/15: 9].
Penamaan al-Dzikr ini berkaitan dengan fungsi Alquran sebagai pemberi peringatan. Atau dapat juga dikatakan demikian, karena kitab ini sangat mudah diingat (dihafalkan).
4. Al-Furqān (الفـــــرقان) seperti terdapat pada ayat:
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR
Artinya: Maha Suci (Allah) yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad) untuk menjadi peringatan bagi seluruh alam [Q.S. Al-Furqan/25:1].
Dinamakan Al-Furqan, karena kitab suci ini berfungsi sebagai pembeda antara yang haq dengan yang bathil.
5. Al-Nūr (النـــور) Penamaan ini tersebut dalam ayat:
(#qãZÏB$t«sù «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur ÍqZ9$#ur üÏ%©!$# $uZø9tRr& 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz.
Artinya: Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada an-Nur (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Menhetahui apa yang kamu kerjakan [Q.S. Al-Taghabun/64: 8].
Dinamakan An-Nur karena kitab ini berfungsi sebagai cahaya, penyuluh bagi umat manusia dalam menjalani kegelapan hidupnya di dunia ini.
C. Garis-garis Besar Kandungan Alquran
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam merumuskan garis-garis besar kandungan Alquran. Perbedaan tersebut sebenarnya disebabkan cara pandang yang berbeda, sesuai dengan kecendrungan dan latar belakang keilmuan yang dimilikinya.
Fazlur Rahman dalam bukunya, Major Themes of The Quran (Tema Pokok Alquran), menyebutkan ada delapan tema, yaitu: (1) Tuhan, (2) Manusia sebagai Individu, (3) Manusia sebagai Anggota Masyarakat, (4) Alam Semesta, (5) Kenabian dan Wahyu, (6) Eskatologi, (7) Setan dan Kejahatan, dan (8) Lahirnya Masyarakat Muslim.
Kedelapan tema tersebut jika disederhanakan lagi bisa dirangkum menjadi enam macam, yaitu:
1. Tuhan,
2. Manusia,
3. Alam,
4. Kenabian,
5. Eskatologi (keakhiratan), dan
6. Setan/Kejahatan.
Berbeda dengan Fazlur Rahman, Harun Nasution dalam bukunya, Akal dan Wahyu dalam Islam, memperkirakan hanya sekitar 500 ayat (8%) dari isi kandungan Alquran yang menyebutkan ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, dan hidup kemasyarakatan. Dari 500 ayat tersebut hanya 228 yang membicarakan tentang hidup kemasayarakatan. Dalam hal ini Harun Nasution ingin menekankan, kurang tepatnya pendapat yang mengatakan, bahwa Alquran mencakup dan menjelaskan segala-galanya, termasuk di dalamnya sistem hidup kemasyarakatan manusia yang komplek seperti sekarang ini.[7]
Dalam beberapa kitab tafsir sering ditemukan pendapat yang mengatakan, bahwa garis besar kandungan Alquran termuat dalam surat Al-Fatihah. Karena itu pula surat Al-Fatihah disebut sebagai Ummul Kitab atau Ummul Qur’an. Jika didasarkan pada pendapat ini, maka timbul perbedaan tentang macam-macam ilmu yang ada dalam surat Al-Fatihah. Syeikh Mushthafa Al-Maraghy, umpamanya, menyebutkan dalam tafsirnya bahwa surat Al-Fatihah mengandung lima macam ajaran pokok, yaitu:[8]
1. Aqidah/Tauhid
2. Janji dan Ancaman (Al-Wa’d wa al-Wa’id)
3. Ibadah
4. Jalan Kebahagiaan
5. Sejarah Umat Masa Lampau
Berbeda dengan Al-Maraghy, Al-Imam Fachruddin Al-Razy mengemukakan bahwa surat Al-Fatihah sebagai representasi Alquran (Ummul Quran) mengandung tiga macam ajaran pokok, yaitu:[9]
1. Aqidah,
2. Ibadah, dan
3. Mu’amalah
Suatu pembagian yang sangat global menyebutkan tiga macam kandungan Alquran yang meliputi masalah-masalah:
1. Teologis: yaitu masalah ketuhanan dan hal-hal yang membutuhkan keimanan dalam penerimaannya. Seperti ajaran yang termuat dalm rukun iman;
2. Kosmologis: yaitu tentang alam semesta beserta isinya dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Baik menyangkut asal usul dan proses kejadian alam, hukum-hukum yang berlaku di dalamnya (sunnatullah) dan lain-lain sebagainya;
3. Antropologis: yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah manusia. Baik menyangkut hakekat manusia, asal usul kejadiannya, wataknya, sejarah kehidupannya dari waktu ke waktu, dll.
D. Pengertian wahyu / الــــوحي :
Secara bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang cepat, surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.[10]
Dalam Alquran, kata wahy (الوحي) , digunakan dalam bentuk الإيحاء dan dipakai dalam berbagai macam pengertian. Di antaranya:
- Ilham Fithriah bagi manusia:
!$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ÐÈ
Artinya: Dan Kami wahyukan (berikan ilham) kepada ibu Musa agar ia menyusuinya …[Q.S. Al-Qashash/28: 7].
- Instink bagi hewan :
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ
Artinya: Dan Tuhanmu telah mewahyukan (memberikan instink) kepada lebah, “buatlah sarang-sarang di bukit-bukit dan di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang dibuat oleh manusia [Q.S. Al-Nahl/16: 68].
- Isyarat :
yltsƒmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍköŽs9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia wahyukan (memberi isyarat) kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang [Maryam/19: 11].
- Bisikan/rayuan syeithan :
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqムöNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4 öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù ( öNèdöxsù $tBur šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÊËÈ
Artinya: Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan [Q. S. Al-An’am/6: 112]
Demikian arti kata wahyu menurut penggunaannya dalam Alquran. Sedangkan kata wahy menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ialah “pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.[11] Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau yang digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat diartikan sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung sangat cepat.
Pengertian demikian ini juga digunakan dalam Alquran, antara lain pada ayat :
$¯RÎ) !$uZøym÷rr& y7øs9Î) !$yJx. !$uZøym÷rr& 4n<Î) 8yqçR z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 !$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) zOŠÏdºtö/Î) Ÿ@ŠÏè»yJóÎ)ur t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètƒur ÅÞ$t6óF{$#ur 4Ó|¤ŠÏãur z>qƒr&ur }§çRqãƒur tbr㍻ydur z`»uKøn=ßur 4 $oY÷s?#uäur yŠ¼ãr#yŠ #Yqç/y ÇÊÏÌÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami Telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami juga telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahny;, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman, dan Kami berikan Zabur kepada Daud [Q. S. Al-Nisa’/4: 163]
Sedangkan proses penyampaiannya yang kadangkala secara langsung dan kadangkala melalui perantara, diungkapkan dalam Alquran surat al-Syura/42: 51 sebagai berikut:
$tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ
Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (secara langsung) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana [Q.S. al-Syura/42: 51]..


E. Macam-macam wahyu
Berkaitan dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala sesuatu yang disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul, adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari keinginan pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari Allah. Seperti dalam firman-Nya:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Artinya: Dan dia (Muhammad) tidak memngucapkan sesuatu yang keluar dari hawa nafsunya, melainkan (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan Tuhan [Al-Najm/53: 3 – 4].
Sungguhpun redaksi ayat ini bersifat umum, mencakup apa saja -- ajaran -- yang disampaikan/diucapkan oleh Muhammad, namun dalam realitasnya harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat ilahiyah, yang menempatkan Muhammad sebagai utusan Allah[12].
Ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya dideskripsikan dalam tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi. Perbandingan antara ketiga macam wahyu ini dapat ditabulasikan sebagai berikut:
ALQURAN
HADITS QUDSI
HADITS NABAWI
Redaksi bahasa dan mak-nanya dari Allah
Maknanya dari Allah, redaksi bahasanya disusun sendiri oleh Nabi dengan menis-batkannya kepada Allah.
Maknanya dari Allah, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh Nabi tanpa menisbatkan-nya kepada Allah
Keabsahan-nya sebagai
wahyu Allah bersifat mutlaq (قطعيّ الورود)
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang
bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang relatif (ظنيّ الورود)
Keabsahannya sebagai wahyu Allah ada yang bersifat mutlaq (قطعيّ الورود) dan ada yang tidak mutlaq (ظنيّ الورود)
F. Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”.[13] Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.[14]
Ilham dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.[15]
Dua macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran, surat Al-Syams/91: 8,
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya (Q. S. al-Syams/91: 8).
Dua macam instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur) dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua macam instink ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan Allah.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.





[1] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, مناهل العرفان في علوم القرآن , Daar al-Fikr, Beirut, 1988, Juz I, hal. 14; Bandingkan dengan Rosihon Anwar, hal. 29; Masjfuk Zuhdi, hal. 2.
[2] Badruddin Muhammad Bin Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Isa al-Baby al-Halaby, Kaero, 1957, Juz I, hal. 278
[3] Dr. Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, دراسات في علوم القرآن (ULUMUL-QUR’AN: Studi Kompleksitas Alquran), Alih Bahasa Amirul Hasan & Muhammad Halabi, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, Cet. I, 1997, hal. 38
[4] Abdul ‘Azhim Az-Zarqani, op. cit, Juz I, hal. 19
[5] Mutawatir adalah proses penyampaian informasi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta atau melakukan manipulasi.
[6] Imam Muhyiddin An-Nawawi, Riyadhush-Shalihin, Alih Bahasa Salim Bahreisy, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. V, 1979, hal. 126
[7]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986: 27 – 34
[8] Muhammad Mushthafa Al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, Daar al-Fikr, Beirut, 2001, Juz I, hal. 17
[9] Fachruddin Ar-Razy, Tafsir Mafatih al-Ghaib, Daar al-Fikr, Beirut, 1425H, Juz I., hal. 123
[10]Prof. Dr. M. Qureish Shihab, et.al. SEJARAH & ULUM AL-QURAN, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. II, 2000, hal. 48
[11] Ibid. Dikutip dari Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, Daar al-Syuruq, Beirut, 1994, hal. 101
[12] Salah satu contoh ucapan Muhammad yang disampaikan dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah, adalah ketika akan terjadi perang Khandaq. Muhammad menginstruksikan kepada prajuritnya untuk membuat pertahanan di dalam kota. Namun instruksi ini dipertanyakan oleh salah seorang tentaranya, dengan berkata: “Ya Rasulallah, apakah instruksi ini merupakan wahyu dari Allah?” Muhammad menjawab, “Bukan”. Lalu tentara tadi mengusulkan agar pertahanan dilakukan di luar kota, karena kalau bertahan di dalam kota, walaupun menang dalam peperangan tetapi akan menyebabkan hancurnya kota. Karena itu dibuatlah parit (Khandaq) sebagai benteng pertahanan di luar kota.
[13] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsr, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hl. 29 – 31.
[14] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Al-Haramain, Singapore, t.t., 34
[15] Dali Gulo, Kamus Psychologi, Tonis, Bandung, 1982, hal. 123

1 komentar:

kliksmedan mengatakan...

blog ini sangat membantu mahasiswa dalam pembelajaran ulmul quran.semoga blog ini terus berkembang dan tetep eksis
"terimakasih"

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen Pengampu Mata Kuliah Tafsir dan Ulumul Qur'an pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta